I negah Bobol, salah satu petani sayur-mayur di Kabupaten Gianyar, Bali mengaku rugi puluhan juta rupiah. Dia harus menelan pil pahit, dimana biaya penyediaan bibit sampai pemeliharaan tanaman sayurannya berujung nihil, akibat badai Pandemi.
Akhirnya dia ya hanya membiarkan saja tanaman sayurannya membusuk di ladangnya. Padahal dia berharap, dapat memanennya guna menebus biaya yang sudah banyak dikeluarkan tadi.
Ketidakberdayaan itu lantas nyata setelah batang hidung para pengepul tidak jua nampak memborong sayurannya, seperti biasa.
Lantas, dia hanya pasrah dan menduga-duga, jika saat ini memang bertepatan dengan panen raya semata. Dan membuat stok sayur-mayur melimpah ruah di pasaran, itu saja!
Bukan lagi masalah bagaimana bisa mencari dan membangun link dalam menciptakan komoditasnya berkualitas baik dan ujungnya berharga pantas.
Nah berita viral terkini dari Bali di atas, memang tidak berbanding lurus, dengan kabar positif yang menulari sektor pertanian, selama pandemi.
Padahal Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan pada periode Januari-Maret 2020 di sektor Pertanian, yakni pertumbuhan ekspor RI –malah- tumbuh 16.23% year on year (Yoy).
Terlebih Menteri Pertanian sudah mencanangkan Program Gerakan Tiga Kali Lipat Ekspor (Gratieks) dalam memacu pertumbuhan neraca perdagangan komoditas pertanian dalam kurun waktu 4 tahun mendatang.
Artinya, dengan hadirnya program tadi, Pemerintah berkeinginan menyapu bersih stok produk pertanian yang melimpah tadi, agar bisa terserap dengan harga pantas, ke luar negeri.
Kementan pun menyebut upaya itu sudah terlihat, dimana terjadi lonjakan peningkatan ekspor buah segar pada periode Januari- Mei 2020 sebanyak 375.000 ton dengan kenaikan nilai tambah 73.4 %, dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Melihat tren positif sektor Pertanian kini, kira-kira apa ya yang seharusnya dilakukan I Negah Bobol, untuk mengubah taraf hidupnya sekarang ya?
Apakah dia harus mengubah jenis komoditas pertaniannya ke jenis komoditas lain? Atau malah -paling ekstreem– berhenti bertani saja, dan mencari pekerjaan di sektor lain?
Atau –lagi- malah mau bermitra dengan banyak unit korporasi komoditas pertanian, yang banyak menawarkan penerapan riset teknologi pertanian terkini?
Sekaligus mencoba tawaran paket linkage pemasaran produk yang lebih luas nan jelas dan menjamin penyerapan hasil komoditasnya?
Dan semua itu bisa didapatkan dan terbungkus dari sistem kemitraan yang saling menguntungkan, terutama menjamah linkage pasar yang sudah terbentuk pada unit korporasi pertanian saat ini.
Peluang pasar ekspor itu memang ada, di masa Pandemi?
Masa Pandemi ini, ternyata banyak sekali hal yang bisa menjadi celah untuk terus mengupayakan perdagangan komoditas pertanian kita di pasar dunia.
Terlebih dengan bukti surplusnya neraca perdagangan komoditas pertanian selama Pandemi.
Salah satunya, peluang tadi bisa kita endus dari keputusan Uni Eropa yang terus memperpanjang sanksi ekonomi terhadap Rusia. Dari celah ini saja, peluang itu menjadi terbuka untuk mengambil alih pasar Rusia.
Dan segera mencari celah komoditas apa yang bisa ditawarkan dan diusahakan dari dalam negeri, dan lekas menjualnya ke sana.
Jika dilihat Data Federal Custom Service Rusia mengatakan total impor sayur dan buah Rusia mencapai 6.5 miliar dollar AS di tahun 2019 lalu.
Sedangkan Indonesia –sampai kini- hanya memanfaatkan peluang pasar ekspor komoditas pertaniannya ke Rusia, baru 11.28 juta dollar AS, ya sekira 8.146 ton saja.
Sedangkan negara-negara seperti Equador, Turki, China, Azerbaijan, Mesir, Maldova serta Belarus sudah sukses menjadi eksportir komoditas pertaniannya mengisi slot pasar Rusia.
Jika dipikir, Equador adalah negara yang letaknya lebih jauh dari Indonesia, dan -anehnya- komoditas pertaniannya paling banyak menawarkan komoditas pisang ambon ke Rusia.
Padahal di Indonesia pisang jenis itu melimpah ruah stocknya kan?

Mungkin saja, salah-satu sebabnya, para petani kita belum mendapatkan linkage kemitraan.
Nah dengan permasalahan tidak optimalnya kemampuan kita menggarap pasar luar negeri yang menganga itu seakan sudah menjawab manfaat linkage dari kemitraan yang kita singgung di atas.
Dan linkage tadi segera menjawab manfaat, untuk menjadi katalisator proses perjuangan masa depan para petani, seperti I Negah Bobol menjadi lebih baik
Kemitraan kerjasama dalam keterkaitan usaha baik langsung ataupun tidak langsung yang berlandaskan prinsip saling memerlukan saling mempercayai, saling memperkuat ,dan saling menguntungkan yang melibatkan pelaku usaha UMKM dengan pelaku usaha besar
DEFINISI KEMITRAAN
Itu sajakah yang bisa didapat? Belum cukuplah, bahkan bagaimana Kemitraan tadi, bisa juga menawarkan added-value lainnya. Seperti perbaikan kualitas sosial-budaya dan lingkungan masyarakat juga jauh menjadi lebih baik lagi kan?
Yuk menengok kesuksesan Bapak Sarjono di Lampung!
Nah Bapak Sarjono, salah satu peternak asal Lampung, yang pula lama menggantungkan hidupnya dari aktivitas beternak ini, ya bisa dikatakan lebih beruntung dari I Negah Bobol .
Kini Bapak Sarjono bersama para peternak yang tergabung dalam kelompok Tani Limousinnya berhasil meraup pundi-pundi dalam membangun kesejahteraan yang layak dari aktivitas peternakan sapi di Lampung
Hal itu, Bapak Sarjono ceritakan dalam Webinar Great Giant Foods, Rabu (12/8) lalu. Dia bercerita, tahun 2009, kelompak taninya yang hanya beranggotakan 16 orang saja, dengan 150 ekor sapi.
Webinar GGF 2020
Dan menginjak di tahun 2020, usaha peternakan sapinya membengkak dengan mengasuh sapi sebanyak 1500 ekor, dan anggota kelompok taninya pun bertambah menjadi 85 orang.
Tentu semuanya berjalan dengan serangkaian proses yakni melakukan kemitraan dengan PT Great Giant Livestock (PT GGL) yang merupakan salah satu perusahaan unit korporasi Great Giant Foods (GGF), Gunung Sewu Grup.

Nah dengan kemitraan ini tentu sudah membangun simbiosis mutualisme. Dimana petani plasma di lampung sudah banyak terbantu instentif permodalan, pakan ternak, fasilitas kesehatan serta pendampingan tenaga ahli peternakan dari PT GGL itu, dengan mudahnya.
“Perubahan berat sapi mencapai 0.8-1 Kg perhari,”
Bapak Sarjono, Mitra CSV PT GGL
Dan ujungnya, hasil peternakan garapannya menghasilkan daging dan susu segar berkualitas dan langsung diserap oleh PT GGL.
Untuk selanjutnya bisa dipasarkan dalam produk kemasan daging segar bermerk Bonanza dan susu sapi segar Hometown Dairy yang mudah ditemukan di banyak market modern ternama.

Nah kisah tersebut bisa menjadi bukti, bagaimana sistem kemitraan yang bisa terus saling menguntungkan, antara petani dan juga koorporasi.
Dan utamanya dengan menjamin aktivitas hulu hingga hilirnya komoditas para petani plasma setempat.
CSV adalah koentji?
Nah di tahun 1990-an banyak sekali perusahaan atau Korporasi apa saja terbiasa dengan hanya mengeluarkan dana socially responsibility investement (SRI), yang jua kita kenal dengan sebutan Coorporate Sosial Responsibility (CSR).
Dan baru pada tahun 2008 ketika terjadi krisis keuangan Global, terjadilah ledakan ketidakpercayaan publik terhadap sitem kapitalisme koorporasi.
Dan akhirnya terjadi tuntutan atas kebijakan Pemerintah untuk segera mengatasi masalah sosial dan lingkungan yang ditimbulkan korporasi-korporasi tadi.
- Baca juga : Yuk berbisnis Karbon, investasi masa depan alam!
Artinya, Dana CSR yang besar kepada masyarakat ternyata tidak menyelesaikan masalah sosial serta lingkungan yang muncul di belakangan hari.
Karena memang dianggap tidak berprioritas pada sebuah bisnis yang seharusnya –juga- memperbaiki masyarakat di sekitarnya.
Forbes pada tahun 2018 memunculkan istilah Impact Investment dan mendefiniskannya sebagai gabungan aktivitas investasi dan juga donasi.
Harapannya model bisnis tadi, dapat menutup gap masalah lingkungan dan sosial yang menjadi masalah korporasi dunia.
Webinar GGF, yang selanjutnya disampaikan oleh Gilang M Nugraha, Junior Manager Sustainibility GGF sudah memberikan pandangan baru lainnya soal Impact Investment ini.
Dimana turunan dari istilah Impact Investment itu oleh korporasi bisa diwujudkan lewat konsep Creating Shared Value atau CSV ala GGF yang hasilnya sudah dirasakan bapak Sarjono dengan kemitraannya bersama GGF.
Dan akhirnya sistem yang terbangun yakni konsep kemitraan CSV itu, menjadikan mitranya –para petani- bersama lingkungan sudah dijadikan asset yang sangat berharga.

Melihat konsep dasar CSV tadi, ada 3 hal mendasar yang menjadi kunci dalam penerapannya, menurut gilang, apa saja itu?
Pertama, lingkaran permasalahan Petani, yakni Sosial Needs.
Nah kita tarik lagi masalah petani asal Bali, I negah Bobol diatas. Dimana bisa menjadi cermin permasalahan petani kita masa kini. Adanya ketidakpastian harga komoditasnya menjadi masalah utama dirinya dalam meraup pundi keuntungan.
Dan akhirnya masalah tadi menghadirkan tren kemiskinan sebagai predikat para petani kita yang tak pernah jua lepas.
Mereka juga terpaksa menjadi ‘miskin’ untuk bisa berbuat apa-pun, terutama menyangkut nasib aktivitas hilir komoditas pertaniannya yang harus dijual dengan siapa? Karena sudah terbiasa oleh candu pengepul yang tidak pasti.

Hal ini bisa menjadi item social needs para petani , dan harus segera dijawab dalam hal bersama mengembangkan semua potensi yang ada di masyarakat dalam wadah kemitraan CSV ini.
Tentunya ya dengan menyepakati MoU antara kedua belah pihak, yakni perusahaan korporasi dan mitra petani, untuk selanjutnya bisa dijalankan bersama.
Kedua, Kesempatan berusaha
Sektor pertanian sampai kapan pun akan tetap survive, hal itu menjadi hal yang tidak terbantahkan, sekaligus menjadi ide bisnis cemerlang buat dijalankan.
Terlebih terbukanya kemudahan bisnis itu dengan bantuan permodalan dari institusi perbankan yang bisa memberikan penyediaan modal memulai usaha bisnis ini.
Di sisi lain, adanya kebijakan Pemerintah yang selalu mendukung sektor Pertanian untuk bisa menjadi sektor andalan di masyarakat.
Ditambah lagi, -memang- selalu terbukanya potensi market produk pertanian ke dalam maupun luar negeri lainnya yang selalu diusahakan Pemerintah.
Ketiga, Perusahaan yang kaya akan Sumber Daya
Nah Perusahaan atau korporasi seperti GGF lalu hadir, dengan sumberdaya yang dimilikinya.
Dan menyakinkan mitranya para petani dan bisa menjadi sandaran, untuk hal penularan teknology terkini, dan juga upaya pendampingan aktivitas pertaniannya serta berlanjut dalam hal pemasaran komoditas pertanian dengan layak.
Muaranya tentu bisa menjadikan produk pertanian para petani berstandar tinggi. Dan hal yang utama adalah berhasil menyediakan linkage pemasaran di mana saja, guna memberikan market nyata komoditas pertanian hingga sampai ke tangan kosnumen.
“Petani menanam dan membudidayakan komoditas tertentu yang kita bisa beli lagi,“
Gilang M Nugraha, Junior Manager Sustainibility GGF
Oleh sebab itu, dalam penjelasaannya, Gilang juga menuturkan, konsep CSV itu adalah usaha menggabungkan ketiga elemen utama, yakni Petani, Perusahaaan, serta Institusi yang menjamin sistem Permodalan yang sehat.
Dan akhirnya menemukan irisan, yakni tujuan atau hasil yang diinginkan bersama. Dan terbukti dari apa yang sudah Bapak Sarjono kini rasakan, ketika menuai hasil kemitraan bersama GGF.
Menengok keberhasilan GGF dalam penerapan CSV
PT Sewu Segar Nusantara (SSN) semenjak 1995 sudah berupaya mengusahakan aktivitas distribusi, pemasaran buah lokal dan menghantarkannya di pasar nasional dan internasional.
Produk buah lokal yang diusahakan, meliputi, pisang, nanas, jambu, apel dan juga pir yang tersedia sepanjang waktu.
Vera Monica, Head of Local Sourching PT SSN, dalam paparannya di Webinar itu, juga menjelaskan pola kemitraan berkonsep CSV sudah memberikan keuntungan antara SSN juga mitra kelompok tani binaannya.
Dengan linkage pemasaran yang lebar, SSN sudah menyediakan 22 ribu outlets di dunia -bahkan-. Serta memasok produk buah segar bermerek Sunpride dari pasar, toko retail, market modern di Indonesia.
Dan produk buah-buahan segar bercap Sunpride juga berhasil masuk ke pasar negara timur tengah dan asia pasifik, termasuk Jepang yang aturan pasarnya sangat ketat. Utamannya aturan sertifikasi kualitas produk buah yang higienis, bebas pestisida dan ramah lingkungan.

Nah Great Giant Foods (GGF) sendiri merupakan unit korporasi dari Gunung Sewu Grup yang hadir sejak 2016 lalu. Terdapat sembilan perusahaan dalam naungan unit korporasi GGF.
Dengan lahan pertanian sekitar 34 ribu hektare, yang tersebar di Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Bali serta Aceh. GGF sudah banyak memberikan manfaat juga kepada para petani, masyarakat dan lingkungan.
Potensi yang sudah ditorehkan yakni, diantaranya GGF juga sudah menambahkan nilai lebih dengan menyipta produk ramah lingkungan, dengan pemanfaatan produk dari waste/limbah produknya.
Dan menjadikan Indonesia sebagai raja produsen produk buah pisang cavendish yang berkualitas. Serta sudah berhasil membudidayakan di Indonesia.

Secara umum, kehadiran GGF sudah menghasilkan banyak produk yang menjadi pilihan banyak konsumen di dunia.
Produknya adalah Buah segara Sunpride, Jus Buah dan keripik DUTA, jus 100% Re.Juve, daging segar dan bakso Bonanza, Susu segar merk Hometown serta tepung tapioka merk Cap Kodok.
Bisakah CSV GGF menjawab Resesi?
Masa pendemi sudah memberikan pengaruh luar biasa kepada sisi ekonomi manusia. Hal itu sudah kita rasakan dengan hadirnya Resesi di banyak negara.
Di Indonesia kehadiran Resesi sudah kita rasakan dengan pertumbuhan ekonomi yang beranjak minus di kuartal kedua -5.32%. Resesi ini kian menjadi dimana BPS mencatatkan adanya deflasi pada Agustus sebesar 0,05%.

Deflasi tadi disumbang oleh penuruan harga pangan dan tiket pesawat. Artinya, ya daya beli masyarakat Indonesia memang masih lesu ya?
Terjadinya deflasi sendiri pasti akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pasalnya pengaruh deflasi membuat hasil produksi apapun oleh korporasi tidak akan mampu diserap oleh masyarakat.
Dan akhirnya membuat banyak korporasi mengurangi kapasitas produksinya. Dan berujung pada sempitnya lapangan pekerjaan kini.
Indonesia terakhir kali mengalami deflasi selama dua bulan berturut, pada agustus dan september tahun 2018. Pada saat itu bertepatan juga dengan krisis finansial global.
Nah dengan fakta dan data yang disampaikan di atas, Selama pandemi terbukti, jika sektor pertanian bisa bertahan. Dan hal itu ditunjukan oleh pertumbuhan positif pada neraca perdaganagan di atas.
Tentu bisa menjadikan peluang besar, bagi kemtiraan model CSV untuk terus dikembangkan.

Dimana usaha pengembangan kapasitas masyarakat juga ikut terangkat sebagai tujuan item sosial needs. Dan diwujudkan dengan hadirnya kemitraan GGF bersama banyak UMKM masyarakat dan keluarga petani/mitra GGF.
Konsep CSV GGF yang utama juga berfokus lingkungan menjadikan produk buangan aktivitas korporasi bisa dijaikan added-value dalam mencipta produk baru.
Artinya masyarakat sekitar atau non-karyawan/ mitra-pun juga dapat merasakan nilai ekonomi tambahan tadinya.
Salah-satu added-value yang selalu diperjuangkan dalam konsep ini adalah pemanfaatan buah reject yang tidak layak produksi. Seperti pisang yang selanjutnya bisa dibuat kripik pisang oleh UMKM setempat.
Lalu sampah organik lainnya bisa dijadikan ulat sebagai pakan ikan oleh masyarakat. Hingga kotoran sapi yag berhail dijadikan biogas.
“Mereka bisa memanfaatkan buah reject ini untuk kegiatan ekonomi di desa mereka”
Gilang M Nugraha, Junior Manager Sustainibility GGF
Sehingga banyak pangan olahan dari bahan limbah dimanfaakan oleh UMKM masyarakat setempat . Dan menjadikan produk olahan seperti dodol, wajik, selali nanas, kue pisang sampang kripik pisang.


Nah dengan kemitraan yang berkonsep CSV ini kepada banyak UMKM, tentu saja sudah membebaskan masyarakat untuk selalu beraktivitas menggerakan ruang ekonomi mereka di masa Pandemi ini.
Dimana, efek Pandemi masih banyak menyandra aktivitas ekonomi di sektor lainnya hingga saat ini kan?
CSV, menjadikan masyarakat dan lingkungan benar-benar adalah aset sesungguhnya!
Nah dari aplikasi konsep kemitraan CSV ini, GGF sudah berhasil dan membuktikan tiga hal yang menjadi visi Korporasi GGF sesungguhnya, yakni:
Pertama, Great Live, yakni usaha Korporasi untuk memasok produk pertanian dalam konteks luas, daging, susu, buah segar, produk olahan buah, dan minuman yang kaya esensi nutrisi bagi masyarakat di dunia.

Kedua, Great People, selalu berupaya menghadirkan masyarakat sekitar untuk terus sehat, dan aktif ikut serta dalam pengembangan keberlanjutan usaha yang dijalin bersama.
Terutama, usaha dan upya GGF yang juga selalu mendukung pengembangan aktivitas sosial masyarakat di area perkebunan GGF, dengan penyediaan fasilitas yang dibutuhkan masyarakat.

Ketiga, Great World, tentu saja GGF memperhatikan semua upaya dalam keberlajutan lingkungan yang sehat. Terutama penerapan skema daur-ulang limbah hasil produksi ke dalam added-value menyipta produk lainnya, yang mengikutkan masyarakat . Sehingga produknya berbuah label penting zero-waste yang peranannya sangat diharapkan masa kini.
Daftar pustaka
- https://www.kompas.tv/article/104259/miris-tidak-laku-dijual-ratusan-hektar-sayuran-busuk-petani-rugi-puluhan-juta-rupiah?
- https://money.kompas.com/read/2020/08/26/212100926/buah-buahan-indonesia-punya-peluang-pasar-di-rusia?
- https://katadata.co.id/sortatobing/finansial/5f462695894d8/tak-hanya-resesi-ancaman-deflasi-pun-dekati-ri?
- https://katadata.co.id/sortatobing/berita/5f4610924a820/tren-impact-investment-model-bisnis-yang-tak-cuma-mencari-keuntungan
- https://katadata.co.id/agustiyanti/finansial/5f4dcd9fe6c92/daya-beli-masih-lesu-indeks-harga-konsumen-agustus-deflasi-lagi-0-05?
- https://katadata.co.id/ekarina/berita/5f31304f7fcb0/berkah-pandemi-ekspor-buah-segar-ri-melonjak-375000-ton
- https://mediaindonesia.com/read/detail/304329-di-tengah-pandemi-covid-19-ekspor-pertanian-terus-tumbuh-positifDaftar pustaka
- https://katadata.co.id/agustiyanti/finansial/5f4dcd9fe6c92/daya-beli-masih-lesu-indeks-harga-konsumen-agustus-deflasi-lagi-0-05?