Gerakan Three end
“Jika kau menjadi istriku nanti, jangan pernah berhenti mencintaiku hingga ujung waktuuuuu.. “
— SOS, Hingga Ujung Waktu
Ahh, masa lalu yang indah bukan? Cinta banyak yang percaya bisa mempersatukan perbedaan antara lelaki dan perempuan, dan membuat komitmen untuk membangun rumah tangga yang berkualitas atas dasar kasih sayang tanpa kekerasan.
Nah sekarang setelah lama berumah tangga hingga saat ini, masih adakah rasa cinta itu? Semoga masih tersimpan rapi ya, seperti komitmen pernikahan awal dulu, dalam mengawal pondasi rumah tangga yang kuat.
Dinamika berumah tangga beragam dialami masing masing pasangan suami-istri (pasutri). Hal tersebut terkadang memungkinkan banyak hal buruk terjadi, terutama kekerasan pada perempuan dan anak (KPA), bisa jadi terhadap istri dan anak kita atau orang orang terdekat kita.
Semua pasutri pasti tidak menginginkan hal itu. Namun tidak dapat dipungkiri, masih ada saja kejadian yang kita bisa saksikan di depan mata kita, mengenai bentuk kekerasan tersebut.
Masih ingat dengan kasus pencabulan dan pembunuhan, Putri Nur Fauziah yang dilakukan tetangganya Agus. Atau pembunuhan Angeline oleh ibu tirinya Margarete Megawe, atau kasus Yuyun yang dibuang mayatnya oleh 14 rekan sekolahnya.
Fakta itu mencengangkan dimana kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini pelaku umumnya adalah orang terdekat, masih di bawah umur dan juga kebanyakan adalah lelaki.
Statistik Kekerasan Perempuan Dan Anak Di Indonesia dan Upaya Pengentasan
Mari kita lihat data kasus 2015 lalu. Komisi Nasional Perempuan mencatat ada sekitar 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka itu meningkat 9 % dari tahun 2014 lho.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI )juga mencatat 1.698 pengaduan kekerasan pada anak di tahun 2015. Sebanyak 53% diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual, sisanya 40.7% adalah penelantaran, penganiyayaan, eksploitasi untuk seksual, dan kekerasan lainnya.
Tren angka angka tersebut meningkat. Negara dalam hal ini telah lama hadir dalam menekan angka tersebut. Mulai dari penerapan hukuman terhadap pelaku, yang tertuang dalam UU nomor 35 tahun 2014, dimana pelaku dapat dijerat hukuman kurungan penjara selama 15 tahun.
UU hasil revisi dari UU 23/2003 sebelumnya itu juga telah mempertajam hukuman menjadi 20 tahun jika pelaku adalah orang dekat dengan anak seperti orang tua, saudara ataupun kerabat.
Malah pemerintah pernah mengeluarkan wacana kebijakan pengebiran terhadap pelaku kekerasan terhadap anak, dan sempat menuai pro dan kontra serta dianggap menabrak sisi HAM.
Selain itu, Pemerintah juga telah membuat aturan tentang perkawinan di dalam UU nomor 1 tahun 1974, di salah satu pasalnya yang mengatur tentang batas usia perkawinan 16 tahun bagi calon istri yang ingin menikah.
Pembatasan usia tersebut dimaksudkan untuk menekan angka kematian ibu, angka anak yang putus sekolah, serta kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat ditekan.
Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 mencatat kematian ibu di Indonesia meningkat dari lima tahun sebelumnya, 228 orang per 100.000 persalinan menjadi 359 orang per 100.000 persalinan, diakibatkan pernikahan dini.
Sampai di titik ini, laju kasus kekerasan perempuan dan anak belum bisa ditekan dengan efektif. Mengapa?
Penegasan Pemerintah Terhadap Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak
Pemerintah terus concern terhadap hal ini. Hal tersebut terlihat dari gerakan Three Ends KPPPA, yang terus massive digerakkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Apa itu Gerakan sosialisasi Three Ends?.
- End Violance Against Women and Children (Akhiri Kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak),
- End Human Trafficking (Akhiri Perdagangan Manusia) dan
- End Barriers to Economisc Justice ( akhiri kesenjangan ekonomi terhadap perempuan).
Untuk mengakhiri 3ends, adalah pekerjaan besar yang harus dikerjakan bersama sama semua pihak baik pemerintah dan masyarakat, karena banyak factor lain yang menyebabkannya.
>>>> Selanjutnya klik pages ya!