Bansos Kala Pandemi, Candu atau Madu Sih?

Sadar atau tidak. Sejak dahulu , kehadiran Rokok di kehidupan masyarakat kita sudah menembus banyak dimensi kehidupan ya?

Bukan hanya menembus dimensi-dimensi ekonomi dan sosial belaka. Namun saya pikir, sudah bisa jauh menembus sisi-sisi Politik, bahkan.

Analogi sisi Politik tadi, bisa mudah dirasakan kok, dimana Rokok sudah membuat dua polarisasi kuat antara yang perokok dan bukan perokok.

Dan keduanya selalu saling tarik-menarik dalam hal pembenaran soal sikapnya masing-masing.

Ini seakan-akan -seperti- menggambarkan pertarungan sengitnya panggung politik Pilpres dahulu. Dan sudah berhasil memproduksi residu polarisasi antara keduanya, hingga kini.

Dan bahkan, perokok dan non-perokok kini bukan berbicara –hanya- pada soal pilihan semata. Malah bisa menjelma pada hal keyakinan baru.

Utamanya, soal keyakinan para perokok kini, yang sudah membuat banyak justifikasi bantahan atas fakta buruk aktivitas merokoknya tadi. Misalkan adanya keyakinan perokok, jika merokok menjadikan imunitas tubuh perokok menjadi lebih kuat.

Sampai pada hal kontribusi besar, industri rokok bagi tulang-punggung ekonomi negara. Belum lagi soal hal pameo kejantanan pria perokok!

Nah ini menarik sekali, dan sekaligus bisa menjadi sebagai pembuktian, jika rokok ya memang sudah menjadi candu yang sulit hilang, bagi para perokok.

Dan Pandemi yang sedang berlangsung bisa memberikan harapan baru, berupa peringatan. Jika sisi kesehatan menjadi sangat penting untuk selalu dijaga. Baik para perokok dan jua bukan perokok.

Dan bersamaan itu pula, Pandemi memberikan pekerjaan rumah besar kepada kita, untuk bisa jua mempertahankan serta mengelola sisi ekonomi yang sulit gegara Pandemi, agar bisa makin baik lagi.

Dimana keduanya tadi -sisi kesehatan dan ekonomi- tentu akan saling beririsan. Dan akhirnya, bermuara pada kesadaran bagaimana bisa menjaga keseimbangan antara keduanya kan?

Nah, mampukah Pandemi yang sudah mengoyak sisi kesehatan dan ekonomi kita tadi, mampu mengajarkan pola hidup sehat, -terutama- hidupa tanpa candu rokok ya?

Dan lantas membuat kita dapat memulai kembali membangun kerangka ekonomi dan pola hiduplebih berkualitas, paska Pandemi.

Perilaku perokok di masa Pandemi!

Ternyata, -tren- mayoritas para perokok itu –memang- tidak percaya kok, jika merokok bisa menyebabkan mereka menjadi orang yang paling rentan tertular Covid-19.

Sebaliknya, bagi non-perokok dan mantan perokok malah percaya, jika merokok bisa menyebabkan kerentanan penularan Covid-19.

Hal itu menjadi simpulan Survei Komite Nasional Pengendalian Tembakau. Survei tadi melibatkan 612 responden dari bergai daerah Indonesia pada rentang 15 Mei 2020 sampai 15 Juni 2020 lalu.

Nah, namun jika melihatl lagi Rilis Indeks Harga Konsumen bulan Agustus 2020, menyatakan telah terjadi deflasi 0.05%.

BPS mencatat jika kelompok makanan, minuman dan tembakau sudah mengalami deflasi 0.86% dengan andil 0.22% atas deflasi IHK komulatif tadi.

Terlebih, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, menghitung pula jika produksi rokok sudah turun sekitar 30-40% di tahun 2020. Mereka beranggapan jika Pandemi adalah salah satu penyebabnya, dan membuat 19% pengurangan produksi industri rokok Indonesia.

Nah kedua hal ini, bisa menjadi hal menarik, dimana  sudah -banyak- membuktikan, Jika Pandemi –ternyata- belum jua mampu menurunkan Prevelensi perokok di Indonesia secara signifikan ya? Terlebih pada masa Pandemi ini.

Dan Komnas Pengendalian Tembakau –malah- memprediksi terjadi peningkatan prevelensi perokok sekitar 13 persen, pada masa Pandemi ini.

Meski kita yakin jika perokok sudah paham sekali, jika dalam konteks kesehatan, merokok adalah faktor terbesar penyebab penyakit kanker paru-paru.

Dan Kanker Paru menjadi penyebab kematian nomor satu Indonesia. Ketua bidang hubungan luar negeri Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr Sita Laksmi Andriani, pernah menengaskan hal tadi.

Lebih parah lagi, adanya banyak kasus jika covid-19, jika bakal lebih mudah membuat penyakit kanker paru-paru menjadi rumit untuk sembuh dan mendekatkanya pada resiko kematian lebih besar.

Hasil dan fakta ini akan menjadi tanya besar, untuk kita bersama menjawabnya! Ya buat kamu, baik perokok dan non-perokok!

BLT,upaya menjaga kesehatan dan ekonomi kita

Pandemi tanpa sadar jua sudah –tega- merusak tatanan sosial, ekonomi dan kesehatan masyarakat.

Dan kini, Pemerintah selain fokus pada masalah kesehatan, juga telah memacu sisi ekonomi yang jua lesu, bertujuan  mempertahankan posisi kita ke jurang Resesi lebih dalam.

Bantuan sosial adalah ‘madu asli’ yang diharapkan mampu menyehatkan masyarakat di masa Pandemi dalam konteks luas, yakni masalah ekonomi dan jua kesehatan tentunya.

Ada banyak madu yakni berupa stimulus dalam wujud Bantuan Sosial (Bansos) yang bisa dinikmati masyarakat.

Dan bansos tersebut –rencananya- akan mengalir sampai tahun 2021 mendatang. Dimana sudah tersedia dana Rp 419,31 Triliun dalam RAPBN 2021 nanti, dan DPR-RI sudah menyetujuinya.

Nah apa saja madu yang bisa menjadi obat Pandemi pada Masyarakat ini menurut Pemerintah ya?

Pertama, Subsidi Gaji

Bansos ini menyasar karyawan dengan gaji di bawah Rp 5 juta yang menjadi anggota BPJS. Terdapat 15.7 juta pekerja yang nanti mendapatkan gaji bersubsidi Rp 600 ribu perbulan selama 4 bulan, dan penyalurannya sebanyak 2 tahap, masing-masing tahap Rp 1,2 juta.

Kedua, Kartu Prakerja

Ada lagi, bantuan instesif bantuan pelatihan kerja Rp 1 Juta per bulan. Bansos ini fokus menyasar pada individu yang mendapatkan imbas PHK dan sedang mencari pekerjaan.

Ketiga, BLT UMKM

Pemerintah memberikan kucuran bantuan UMKM Rp 2.4 Juta, yang berfokus pada pelaku usaha kecil dari dampak negatif Pandemi . Terdapat 13 juta UMKM yang akan menerima bantuan tadi.

Keempat, Bansos Tunai

Lalu, terdapat pula bantuan sosial (BST)  melalui Kementrian Sosial Rp 500 ribu untuk masyarakat yang bukan penerima Program Keluarga Harapan (PKH).

Totalnya terdapat 9 juta keluarga penerima manfaat Bansos ini, dan Pemerintah akan mengalokasikan dana sekitar Rp 4.5 Trilun . Dan menyalurkannya dalam satu tahap

Nah dari kebijakan Bansos tadi, kita melihat keseriusan Pemerintah untuk segera menuntaskan dampak negatif Pandemi tadi kan?

Terutama usaha mendorong penguatan ketahanan ekonomi, agar tetap bisa memberikan manfaat konsumsi positif bagi masyarakat, menangkal penularan Pandemi ini meluas lagi. Lewat pola hidup sehat.

Kamu mau? Tapi pertanyaannya lantas, apakah ketika kita sudah pantas menerimanya, dengan catatan sudah mampu memaksimalkannya? Ya, memanfaatkan  madu Bansos untuk mendahulukan kebutuhan pokok kita di atas segala-galanya?

Kebutuhan Rokok vs kebutuhan pokok, di masa Pandemi!

Nah kedua hal di atas, tentu saja membuat pertarungan antara kebutuhan rokok vs kebutuhan pokok semakin sengit . Dan saya yakin, buat para perokok tentunya akan paling sangat merasakan dampak pertempuran tadi ya?

Lalu, bagi yang non-perokok, Pandemi ini tentu menjadi momentum untuk berbenah lagi dari sisi kesehatan dan ekonomi, dalam hal kepandaian mengelola Bansos tadi.

Oleh karena itu, tema Pandemi ; kebutuhan rokok vs kebutuhan pokok menjadi tema sentral ruang Publik KBR, yang membahas hal tersebut lebih mendalam lagi.

Kebijakan soal Rokok –memang- belum optimal?

Nah, yang menjadi sorotan dan sebab soal fenomena di atas, bisa saja –mugkin- karena masih belum optimalnya kebijakan Pemerintah, dalam menyentuh akar permasalahan rokok serta dampak ikutannya di masyarakat?

Nurul Nadia Luntungan, salah seorang peneliti CISDI yang jua menjadi narasumber dalam acara itu, menuturkan jika saat ini merokok –memang- sudah menjadi kebutuhan sehari-hari di masyarakat kok.

7 dari 10 lelaki itu adalah perokok,”

Nurul Nadia Luntungan, Peneliti CISDI

Menurutnya sih, ada tiga hal yang menjadi penyebab meluasnya prevelensi perokok di indonesia lebih lebar lagi, yang menjadi pelonggaran kebijakannya. Apa saya sih?

Pertama, Lingkungan

Nurul Nadia Luntungan terus mengatakan, jika tanpa sadar lingkungan sudah menjadi peran sentral dalam pusaran menyebarnya prevelensi perokok di Indonesia.

Dimana –lihatlah- lingkungan di sekitar kita, acap memberikan kemudahan untuk mengenal rokok lebih dalam.

Dari teman kerja, teman bermain hingga kelurga bisa menjadikan lingkungan lebih ramah pada aktivitas merokok.

Terutama tampilan iklan rokok serta konser yang bertema rokok yang bisa tersedia dengan mudah di sekeliling kita. Dan muaranya, akan memproduksi perokok usia dini, yang sudah berhasil mengenalkan candu rokok pada mereka.

Kedua, Kesempatan

Komoditas Rokok saat ini bisa tersedia di mana saja oleh siapa saja yang mengingini. Sehingga akses ini –lantas- bisa memberikan ruang bagi siapa saja untuk memulai merokok dengan leluasa.

Akhirnya, kesempatan yang lebat tadi, menjadi pusaran prevelensi perokok.

Ketiga, Keterjangkauan harga

Meski Pemerintah sudah mencatatkan tren cukai rokok melambung dari waktu ke waktu dan mengerek harga rokok lebih mahal. Harga rokok masih memberikan kemudahan untuk dibeli?

Sehingga dengan kenaikan cukai pun hingga sampai saat ini, belum bisa memusnahkan keterjangkauan harga rokok di tengah masyarakat di kelas mana saja dia berada.

Yuk memulai perbaikan pola hidup di masa pandemi!

Nah lalu Nurul Nadia Luntungan, jua beranggapan, jika Pandemi seharusnya bisa memberikan momen untuk para perokok bisa berhenti merokok. Meski hal ini sangat sulit oleh banyak perokok melakukannya.

Hal itu membuktikan jika candu rokok sangatlah dahsyat untuk hilang bagi seorang perokok. Terlebih, lanjutnya, di masa Pandemi yang sudha menjadi ancaman, badai resesi sudha hadir di depan mata kita.

Dimana akan mengancam ketersedian lapangan pekerjaan. Dan akan memproduksi sekitar 4-5.5 juta pengangguran baru nantinya. Pengaruhnya yang terasa saat ini tentu saja, sudah menipisnya stock pendapatan rumah tangga? Dan ujungnya bisa menjalar pada sisi kesehatan perokok sendiri.

Nah, dalam hal ini, kita bisa saja sepakat. Jika ketiga hal di atas akan berlangsung sukses tentu lagi-lagi  dengan hadirnya peran Pemerintah dalam membuat ketegasan kebijakan soal rokok.

Terutama kebijakan kenaikan tarif cukai rokok yang continue dan bertujuan memusnahkan keterjangkaun rokok masyarakat. Terutama lapisan menegah kebawah.

Kesadaran adalah kunci mewujudkan itu?

Adapula M Nur Kasim, sang ketua RT1 /RW 3 Cililitan Jakarta yang jua hadir dalam perbicangan tadi.

Diamengatakan satu hal yang harus hadir dalam mewujudkan lingkungan tanpa asap rokok untuk mengurangi prevelensi perokok. Hal itu yakni kesadaran masyarakat itu sendiri dari ketegasan sebuah aturan.

Modal itulah yang sudah membuat kampungnya di Cililitan sudah memiliki predikat kampung bebas asap rokok dan Covid 19, sejak Agustus 2020 lalu.

 “Warga tidak boleh merokok di dalam rumah,”

Nur kasim, Ketua RT 1/RW 3, Cililitan, Jakarta

Di kampungnya, tambahnya, ada salah satu peraturan yang sudah berhasil berjalan yakni, larangan merokok di area kampung tersebut, meski berada dalam rumah sekalipun.

Jika ada yang melanggar, ya sanksi sudah siap menanti dan berlaku untuk warga yang tinggal di sana.

Artinya, dengan kesadaran yang tumbuh atas aturan bersama, bisa menjadi obat menjauhkan dari candu rokok dan mengurangi kerentanan covid-19 pada masa ini.

Memilah Candu dan madu!

Nah semua yang tertulis, saya kira pantas menjadi referensi kita untuk bersama menyikapi Pandemi ini, namun dengan tafsir yang sama pula.

Pada saat kesehatan dan juga aktivitas ekonomi menjadi poin yang sangat penting. Karena keduanya akan saling beririsan dan melengkapi dalam keseharian kita.

Jargon kesehatan vs ekonomi, yang sedang hits saat ini. Saya pikir, bukan sebuah pertandingan untuk diadu.

Namun keduanya bisa memberikan pertimbangan, jika kedua hal ini ya memang sama-sama harus berjalan pada masa Pandemi saat ini. Nah berangkat dari sini. Tentulah kita bisa lebih jernih untuk memilih mana yang jelas candu dan madu kan?

Madu hanya untuk non-perokok?

Nah dalam konteks Pandemi dan kebutuhan pokok, keduanya tentu berpegang erat kan?

Dimana masa Pandemi selalu saja berkelindan dengan ketat cah-flow keluarga, arus kredit –selalu- terancam minim, sedangkan arus debit selalu saja terancam menganga terus.

Terlebih, gaya hidup kita sebelum Pandemi lalu meninggalkan banyak hutang yang berjalan pada saat Pandemi ini. Tentu membuat kita menghela nafas panjang.

Madu berupa stimulasi Pemerintah, berupa Bansos yang saya sebutkan , bisa saja menjadi penyemangat baru ya, dalam terus memutar roda ekonomi dalam skup kecil dan besar.

Misalkan dengan mendapatkan gaji subsidi Rp 1,2 juta -yang jua saya dapatkan-

Nah dari sisi non-perokok, seperti saya uang ini tentu saja, sangat berharga. saya yakin para non-perokok bisa dengan mudah membelanjakannya untuk kebutuhan rumah tangga, berupa suplemen kesehatan hingga peningkatan menu harian sarat gizi.

Meski jumlahnya ya terasa terbatas terus. Namun saya pikir dan saya sudah rasakan, dampaknya bisa memberikan manfaat nyata dalam meyabung kehidupan harian saya, yang lebih sehat lagi.

Candu –tetap- hanya untuk perokok?

Tak salah jika candu akan selalu menjadi residu kepada perokok ya? Meski perokok juga bisa menikmati madu berupa stimulus dari Pemerintah.

Tentu saja, dengan hasil survei tadi Madu tersebut tetaplah bisa menjadi candu bagi perokok. Karena dengan candu rokok –sebelumnya- yang terus terbakar dalam keinginan dan keyakinan para perokok, akan berpotensi besar membuat semua stimulus Bansos rentan penyalahgunaan.

Utamanya ya, menyalakan kembali faktor keterjangkauan harga rokok di masyarakat, akibat penyalahagunaan Bansos tadi.

Hal ini beralasan! Badan Pusat Statistik (BPS) pernah menyebut jika –tren- pengeluaran non-konsumsi per kapita masyarakat kita dalam sebulan bisa sebesar lebih dari 50 persen –di luar masa Pandemi-

Salah satunya, jumlah uang malah untuk rokok. Dalam sebulan angkanya mencapai lebih dari 6% secara Nasional.

Pengeluaran uang untuk membeli rokok ini lebih besar dibanding uang yang dipakai untuk membeli beras, hanya sekitar lima persenan saja sebulan.

Nah jika madu berupa stimulus Bansos sudah berhasil menghidupkan keinginan merokok dan keterjangkauan harga rokok.

Apakah perlu ketegasan Pemerintah untuk merevisi dan menafsirkan tunggal penggunaannya kepada penerima manfaat ya? Ataukah hanya menunggu kesadaran para perokoknya saja?

Kebutuhan rokok vs kebutuhan pokok, siapakah juaranya?

Nah dengan skema masalah ekonomi yang sama-sama hadir saat ini, di kehidupan para Perokok dan non-perokok, bisa saja kita mengambil jawaban pasti.

Jika para perokok pastilah akan mendapatkan beban yang lebih berat kan ketimbang non-perokok.

Jika saja, pemenuhan keinginan merokoknya masih menggebu di saat ini. Terlebih ya dengan hadirnya keyakinan ketidakpercayaannya terhadap penularan Covid-19 atas aktivitasnya itu.

Candu tetaplah candu, dan madu pastilah madu. Kita pasti akan sepakat soal itu kan, mendapati fakta tadi?

Namun kembali lagi kepada M Nur Kasim, jika kesadaran memang harus lebih dahulu tumbuh dari individu kita untuk meresapi pentingnya menjaga kesehatan kita itu penting.

Dan utamanya, mengakui jika merokok pastilah merugikan kesehatan, yang jelas tertera di semua bungkus rokok. Nah lagi-lagi, ketegasan dari kebijakan Pemerintah penting untuk merespons hal di atas kan?

Oleh sebab itu. ada tiga hal yang menurut saya- dari sisi nonperokok – menjadi penting dalm memperkuat hal itu.

Pertama, Edukasi tentang bahaya rokok secara massif!

Di masa Pandemi ini, harusnya Pemerintah lebih banyak memberikan edukasi terhadap bahaya merokok ini ke semua masyarakat, terutama skup wilayah kecil RT/RW.

Dan menyediakan akses-informasi bagi para perokok yang ingin mengakhiri aktivitas merokoknya saat masa Pademi dan selanjutnya.

Dan jika perlu, aktivitas pelarangan merokok juga masuk ke dalam protokol kesehatan pencegahan Covid-19.

Kedua, Perketat syarat dan ketentuan berlaku bagi penerima manfaat Bansos

Menurut saya, bisakah semua penerima Bansos Pandemi harus membuat pernyataan selalu mendahulukan kebutuhan rokok diatas keinginan merokoknya.

Dan ketegasan pernyataan itu, segera tegas di dalam pernyataan pengembalian Bansos jika terjadi penyalahgunaan penyaluran Bansos untuk hal yang tidak pokok.

Ketiga, Konsitensi kenaikan cukai rokok

Cukai rokok tentu saja menjadi kunci terhadap keterjangkauan harga rokok. Sehingga konsistensi kenaikan cukai rokok ini, akan menjadi hal penting dalam konteks pengendalian prevelensi rokok masa depan.

Bukan hanya bertujuan, perhitungan meningkatkan PAD daerah dan jua pendapatan Negara, meski ini tipis sekali untuk ditafsirkan antara tujuan pengendalian tembakau dan komersil.

“Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat di sini”

Tiga Artikel Wadai paling Populer, Yuk Klik-in!

error: Content is protected !!