Hari Kamis (11/04) kredibilitas KPU diuji lagi. Sebuah video viral menggambarkan penemuan puluhan karung surat suara tercoblos ke salah satu pasangan Capres 01, lalu adalagi kertas suara yang tercoblos pada gambar Caleg salah satu Parpol.
Ini seperti mengulang kisah lalu-lalu, dimana KPU harus menjadi pemadam-kebakaran lalu segera menjelaskan apakah video itu hoax atau bukan? Tentu menjadi pekerjaan ekstra yang menjadi beban dan membuang waktu KPU untuk segera menuntaskan masalah utama soal jalannya Pemilu mendatang.
Media sosial memang selalu efektif untuk melempar isu yang bisa merebak warga netizen-nya.
Entah apa saja tujuannya. Dan celah inilah yang bisa saja dan terbukti dimanfaatkan kontestan politik untuk melakukan berbalas serangan politik, memenangkan suara di Pemilu nanti.
Tapi anehnya Hoax yang terbukti wira-wiri di Medsos tak lantas menyurutkan pihak tertentu –politisi– untuk melakukan serangan balas-berbalas via Media sosial secara terbuka.
Kebohongan saat ini memang dirasakan telah menjadi template dalam memutarkan adegan perjuangan –taktik– dalam pertarungan politik. Hoax dirasa menjadi contoh propaganda efektif dalam merubah logika politik pada kubu tertentu.
Tapi sampai kapan, Pemerintah terus memanjakan hal ini ya? Meski sudah ada Undang-undang ITE yang sudah banyak memakan korban.
Kebohongan bagian dari Politik?
Serang, serang, serang jangan pernah bertahan. Jangan mengaku, sangkal semua dan luncurkan serangan balik.
George Stone : Konsultan Politik Donald Trump
Apa yang menjadi prinsip politik George Stone dalam dua kaliamt di atas, layak juga dicermati. Dimana aplikasi dari prinsip-prinsip tadi, telah suskes menjadi jalan taktik politik Donald Trump, di kontestasi Pilpres US.
Serang dan serang. Jangan mengaku, sangkal semua dan luncurkan serangan balik. Dua kalimat George Stone itu layaknya menjadi senjata baku dalam perang politik, utamanya dalam perang perdebatan para Timses, di layar TV setiap malamnya.
Bertanya, apakah tidak lelah mereka bersahut-sahutan saling menimpal kebohongan yang sengaja mereka bangun, sebagai puisi terindah bagi pendukungnya.
Sesaat setelah acara perdebatan itu, cuplikan berbagi video dengan puisi terhebat tadi mucul di kanal-kanal lini massa media-sosial dengan meraup simpati banyak Netizen.
Semakin “bohong” videonya kadang-kala menjadi tambah viral yang mengundang banyak keuntungan materi bagi pemilik media-sosial sendiri, dan juga jutaan jempol bagi penyebarnya.
Penyebar dan media sosial seperti satu paket yang dapat membawa perasaan dan angan warga-net, menjadi lebih baik atau malah sebaliknya.
Itulah jawaban mengapa tebaran Hoax sepertinya sudah menjadi hal biasa dalam perpolitikan kita, karena ya memang, bagi saya, politik itu adalah seni berbohong untuk meraih simpati suara.
Sampai kapan kita menyerah kepada dampak buruknya Media-sosial?
Di semua negera manapun ketika terjadi masa peralihan kekuasaan tentu saja merasakan tensi politik yang dinamis.
Apalagi di negara Demokrasi seperti Indonesia. Kehadiran media-sosial sebagai wadah baru berdemokrasi, pastilah turut menyemarakan dan berhasil mejadi ‘sponsorship’ hoax dan segala macam taktik propaganda yang membuat warga resah dan takut.
Bagi saya, imbauan kepada warga net dengan agar berperilaku sehat ber-media sosial dan ancaman UU ITE oleh Pemerintah menjadi sia-sia.
Jika saja, template strategi politik yang dilancarkan para politisi kita mengikuti sukses taktik Hoax yang sukses dilakukan pada Pilpres negara Eropa dan Amerika.
Kecuali, Pemerintah bisa ‘mengendalikan’ perusahaan media sosial dalam ikut memberantas konten negative yang bertujuan fitnah dan membenturkan sentimen SARA yang membungkus kepentingan politik di dalamnya itu.
Kata mengendalikan memang sangat kontradiktif dengan tujuan berdemokrasi ya? Karena media sosial layaknya corong TOA yang lebih dari TOA, yang dapat memekikkan suara atau pendapat kita melebar kemana-mana.
Itu artinya, media sosial dapat dikatakan cocok untuk media ber-demokrasi bagi sebagian politisi yang menungganginya untuk tujuan politis –katanya–.
Membrangus kehadiran media-sosial menajadi tidak mungkin di negera demokrasi, apalagi Indonesia. Pemerintah belum siap menahan petisi negative dan segala komen miring sebagai akibat kebijakan itu.
Terus, adakah cara lain untuk itu, ya? Agar media-sosial menjadi media yang memberi banyak manfaat dalam menyatukan perbedaan. Meski kehadirannya tidak lagi dapat dicegah!
Undang-undang media-sosial
Australia, Kamis lalu (4/4) telah mengesahkan undang-undang media sosial yang bisa menjerat pemilik bisnis media-sosial, jika media mereka tidak bisa mengendalikan konten yang bernada negative berupa kekerasan dan ekstrimisme.
Hukumannya bagi pemilik media-sosial yang teledor akan hal itu, akan dikenakan hukuman penjara selam 3 tahun lamanya.
Sebagai negara berdaulat, bisa saja Pemerintah dan Parlemen DPR kita merancang Undang-undang serupa yang melebarkan peruntukkannya bagi konten hoax yang memecah belah bangsa.
Karena dengan kemajemukan di Republik ini, tentu perpecahan akibat provokasi menjadi hal yang mudah terjadi. Itu alasan yang tepat saya kira.
Undang-undang itu bisa template kebijakan yang positif bagi Pemerintahan masa dapan untuk bersama media-sosial bersama-sama menggebuk segala macam Hoax yang bisa diidentifikasi oleh sistem media sosial sebelum dapat disajikan ke pengguna media-sosial secara luas.
Dan cara itu bisa saja efektive mengendalikan media-sosial, tanpa harus melucuti media sosial yang saat ini, sudah menjadi separuh jiwa masyarakat modern, –termasuk kitalah-
Tapi pertanyaannya, apakah Parlemen yang berisi politis juga bisa berkata ‘iyes’ merancang Undang-undang serupa diatas?
Secara, pada setiap perhelatan politik, mereka juga seakan tertarik dengan tak-tik hoax yang murah-meriah meraup suara dengan cara sederhana dan murah itu. Ini akan menjadi teka-teki lagi, telur dulu atau ayam dulu?
Meskipun sulit, tapi, semoga bisa menjadi masukan buat Pemerintahan terpilih nanti dan juga Parlemen yang akan terlahir ke dunia, di penghujung hajatan politik.
Baca Juga Artikel Terbaru Wadai
- Malakama PKH, Angka Kemiskinan Indonesia Dilestarikan Atau Dipunahkan?
- Pembayaran Minimum Kartu Kredit, Untung apa Rugi? Nih Analisanya!
- Kail YDBA, Akselerasikan Inovasi Qisbelian Snack di IMA UMKM Award 2023
- Berikut 3 Keunggulan Fazzio, yang Belum Diketahui Para Ibu Rumah Tangga
- Bagaimana Blue Core LEXi LX 155, Jawab Tantangan Dekarbonisasi?