Andai saja Quick Count menghasilkan hasil imbang bagi kedua Paslon baik 01 dan 02, pasti kita semua akan khidmat menunggu hasil akhir KPU dengan sabar. Duuh, sayangnya Quick-count malah menangkan 01, Bagaimana Lurr ?
Pemilu 2019, Rabu (17/4) telah digelar, dan hasilnya saat ini sedang dihitung manual oleh KPU. Namun, di luar sana hasil berbagai Quick-Count oleh lembaga Survey dan sudah berani mendeklarasikan kemenangan salah satu pasangan calon Pemilihan Presiden (Paslon Pilpres).
Mencomot hasil Quick-Count dari lembaga Survey Litbang Kompas, dimana Paslon Capres 01 unggul 54-an % dan Paslon 02 tertinggal diangka 45-an% –tenang, ini angka ramalan saja survey–
Tentu saja bagi Paslon yang unggul, angka tadi tentu menggembirakan. Bagi yang kalah angka sialan tadi ini menggangu. Dan seperti Pemilu lalu-lalu, menanggapi hasil hitung-cepat atau Quick-Count tadi, pihak yang dikalahkan hasil Quic-Count akan berkelit, dan meluncurkan pernyataan klise, jika hasil yang sesungguhnya, ya harus berasal dari KPU nantinya.
Terus, ada yang salah dari pernyataan ini? Tidak ada yang salah kok. Lawong memang hasil Quick-Count tidak pernah mengikat apa-apa. Hanyalah perolehan KPU sajalah yang menjadi pegangan, dan ukuran kemenangan atau kekalahan itu nanti.
Pemilu melahirkan pemikiran standart ganda?
Salah satu partai politik yang berbahagia tentu datang dari partai PKS misalnya. Dari data Quick-Count, eh ternyata mereka berhasil meraih suara sekitar 8% di Pemilu kali ini. Dan sontak salah satu petinggi partai itu, menanggapinya dengan bersemangat.
“Alhamdulillah, suara PKS naik, di beberapa lembaga survey bahkan mencapai 9 %,” Ucap Mardani Ali sera, yang dikutip dari Kompas (18/4).
“PKS sangat percaya Quick-Count survei, itu punya metodologi ilmiah yang bisa dipertanggung jawabkan,” tambahnya lagi.
Dari respon PKS, dalam konteks Pileg, PKS begitu mempercayai hasil survey, di konteks Pilpres sebaliknya dan enggan mengomentarinya. Duh, lembaga survey memang seperti buah malakama saja.
Dan kesimpulan saja, rasa buah si Malakama terasa pahit kali dalam kontestasi Pilpres ini kan? koalisi yang dikalahkan oleh hasil Quick-Count tidak akan pernah mempercayai hasil itu di hadapan publik.
Sebaliknya, pada koalisi yang dimenangkan, tentu akan menyanjung hasil itu mati-matian. Tuh kan standart ganda?
Quick-Count tolak ukur pencegahan kecurangan atau senjata politik?
Jika kita mau membuka kembali sejarah, pada tahun 1986-an pada pesta demokrasi Di Filipina.
Dimana Hitung cepat dapat memberikan pengaruh bagi pencegahan kecurangan dan juga presepsi kuat di tengah masyarakat. Hasil Pemilu di Filipina misalnya, akhirnya membuat petahana Ferdinand Marcos lengser dramatis.
Pada pemilu Filpina 7 February 1986, dua kandidiat yakni Ferdinand Marcos dan juga Corazon Aquino bersaing menjadi orang nomor satu di Filipina.
Lalu, sehari setelah pencoblosan, keduanya-pun saling mengklaim kemenangan. Kondisi ini persis sama di akhir Pemilu di semua negara yang merayakan pesta demokrasi, termasuk Indonesia lah!
New York Times dalam laporannya pernah melaporkan, jika Ferdinant Marcos mengkalim sebanyak 7.7 juta suara atau sekitar sepertiga dari total suara berhasil dia kantongi.
Sedangkan Aquino, lewat hitung cepat NAMFREL mengkalim jika Aquino telah unggul dengan selisih 1 juta suara dari Marcos.
Namun KPU Filipina menyampaikan dari data 2.1 juta suara yang masuk keduanya masih imbang. Nah, pada 14 February 1986 lembaga KPU Filipina menyatakan jika Ferdinant Marcos mengantongi 10.8 juta suara, sementara Aquino masih 9.3 juta suara. Akhirnya Ferdinant Marcos dinyatakan pemenang.
Namun lagi-lagi, hitung cepat NAMFREL berhasil menghimpun data dari 85 ribu TPS (70% dari total TPS) dan menunjukkan bahwa Aquino-lah yang menang dan mendapatkan hampir 7.9 juta suara, unggul dari Marcos yang hanya mengumpulkan 7.4 juta suara.
Namun sebenarnya, hitung cepat yang dilakukan NAMFREL itu tidak mencuplik TPS-TPS dengan metode statistik. Namun hasil hitung cepat atau Quick Count itu berhasil menggema ke dunia yang menyatakan jika Aquino-lah pemenangnya.
Ferdinan Marcos sang petahana juga mati-matian meng-kliam kemenangannya dengan aktif. Akhirnya ribuan demonstran pecah di jalan Epifno de los Santos Avenue (EDSA), pada tanggal 25 February 1986. Dan membuat petahana Marcos harus lengser secara dramatis dan berhasil melarikan diri ke luar negeri.
Cerita ini ingin mengatakan jika hasil hitung cepat sangatlah strategis bagi salah satu Paslon dalam konteks Pilpres terutama jika mampu mengunggulinya. Dan hasil hitung cepat tadi secara tidak langsung akan pula menekan KPU untuk “harus” sama dengan hasil hitung cepat tadi.
Ini bisa jadi, teori politik yang bisa dicopy-paste oleh banyak negara Demokrastis dalam usaha starategi kemenangan. Ya namanya perebutan kekuasaan. Bagi Politisi sih, teorinya adalah rebut dulu kekuasaan soal lainnya bisa belakangan. Tapi apa iya, strategi ini berhasil? dimana ilmu pengetahuan dan akal sehat terus berkembang dan maju?
Hitung cepat di Indonesia, apanya yang salah?
Hitung cepat atau nama kerennya Quick-count bukan barang baru kok. Metode hitung cepat ini sudah dimulai pada tahun 2004 lalu. Dahulu LP3ES memulai perhitungan Pemilihan Leslatif (Pileg) dimana akurasi hasilnya hanya 0.9% lebih tinggi dari angka resmi KPU. Prediksinya sendiri adalah 22.7% untuk kemenangan Golkar.
Tidak itu saja, kehebatan hitung cepat di Indonesia juga terus berlanjut, tanggal 5 Juli 2004. Lembaga survey LP3ES-NDI berhasil menunjukkan presisi 0.5% saja dari hasil sah KPU. Dimana Paslon SBY-Jusuf Kalla mengungguli Megawati-Hasyim Muzadi dengan skor 33.83% dan 26.06%
Nah tradisi hitung-cepat terus saja berlangsung memeriahkan gelaran demokrasi sampai ke tingkat daerah. Dan hasilnya-pun presisi dengan hasil keluaran KPU.
Malah semakin hari, lembaga survey pun seperti beranak pinak jumlahnya. Dan dari fakta itu, sebenarnya pilihan kepercayaan terhadap lembaga survey pun semakin kompetitive dan dapat diuji kebenarannya secara ilimiah, bukan praduga.
Baca Juga Artikel Terbaru Wadai
- Meyakini Sepak Bola Indonesia Layak ke Pentas Dunia, via Aplikasi BRImo Saja?
- ASUS Zenbook S 14 OLED, Laptop Tipis Premium Pertama di Indonesia dengan Prosesor Intel® Core™ Ultra (Series 2)
- Malakama PKH, Angka Kemiskinan Indonesia Dilestarikan Atau Dipunahkan?
- Pembayaran Minimum Kartu Kredit, Untung apa Rugi? Nih Analisanya!
- Kail YDBA, Akselerasikan Inovasi Qisbelian Snack di IMA UMKM Award 2023
Dari sejarah di atas, memang tidak ada anjuran untuk mempercayai hasil hitung cepat sesaat setelah pencoblosan selesai. Karena hasil survey dan kerjasama parpol dengan lembaga survey memang sudah menjadi bagian strategi dari pemenangan politik yang berlomba dalam hajatan politik.
Utamanya dalam memotret elektabilitas partai dan juga aktor yang bertanding dalam Pemilu macam Pilpres ini.
Siapa saja yang mau mempercayainya silahkan saja! Dan yang tidak percaya ya silahkan saja, tanpa harus memaksakan narasi untuk mengikuti perasaan jika hitung cepat tidak lah benar dan sebaliknya.
Percaya pada Tuhan saja!
Sepanjang masa Pemilu lalu, kita setidaknya sudah kenyang dengan isi kampanye yang bernuansa religi, yang menekankan pada aspek kejujuran dan menyerahkan keputusan apapun kepada sang pencipta.
Dalam konteks berdemokrasi kita pun harus yakin, akan siapa saja pemimpin yang dilahirkan dari rahim demokrasi, yang suci tanpa kecurangan.
Jadi, pekerjaan rumahnya, bagaimana menghilangkan dan membuktikan kecurangan itu di hadapan hukum untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Karena ya keadilan tentu akan berasa relatif dari sudut pandang masing-masing orang.
Dan akhirnya jika kuasa Tuhan telah nampak, segala kebohongan dan kecurangan apapun pasti akan terbongkar. Lembaga hitung cepat yang tidak jujur mengeluarkan hasil yang sebenarnya tentu akan membunuh dirinya sendiri, jika saja hasil KPU pada akhirnya berbeda dengan mereka punya.
Dengan kata lain, jika memnag terjadi ya tentu saja kredebilitas lembaga survey di Indonesia akan lemah dan tidak mendapat tempat di hati masyarakat kita lagi kan? Artinya tidak adalagi hitung-cepat di bumi indonesia –itu bisa saja–
Namun….. Jika lembaga survey dengan hasil hitung cepatnya ternyata terus memberikan ramalan yang presisi, kita juga harus memberikan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan itu.
Dimana dari hasil hitung cepat itu, yang didasarkan ilmu pengetahuan akhirnya membantu dalam proses memberikan informasi hasil akhir hajatan demokrasi secara benar dan cepat tanpa mengesampingkan kinerja KPU.
Oleh sebab itu, dengan selesianya proses pencoblosan, kita berlomba berdoa saja agar pilihan kita menang. Dan yakin saja, jika sangat gampang bagi Tuhan kok untuk membalikan ketidakadilan itu kok!
Kun Fayakun, jadi deh!
Baca Juga Artikel Terbaru Wadai
- Meyakini Sepak Bola Indonesia Layak ke Pentas Dunia, via Aplikasi BRImo Saja?
- ASUS Zenbook S 14 OLED, Laptop Tipis Premium Pertama di Indonesia dengan Prosesor Intel® Core™ Ultra (Series 2)
- Malakama PKH, Angka Kemiskinan Indonesia Dilestarikan Atau Dipunahkan?
- Pembayaran Minimum Kartu Kredit, Untung apa Rugi? Nih Analisanya!
- Kail YDBA, Akselerasikan Inovasi Qisbelian Snack di IMA UMKM Award 2023
Sumber Bacaan : Tirto
Gambar Pexels