Dalam kamus Bahasa Indonesia, istilah daerah Pedalaman bisa bermakna daerah terpencil yang terletak jauh dari kota, dan kurang berhubungan dengan dunia luar.
Dan secara spesifik, parameter penetapan predikat Daerah pedalaman tadi, mudah kita temukan pada Peraturan Presiden RI No 131 tahun 2015 tentang penetapan daerah tertinggal 2015-2019.
Nah dari kedua Referensi itu, lekas saja membuat kita mudah, membayangkan bagaimanan sih wajah asli dan kondisi daerah-daerah pedalaman yang tersebar di Nusantara kita itu.
Bila masih penasaran jua, kita bisa kok dengan mudah melihat wajah daerah pedalaman itu secara visual, yang tersaji pada banyak program media televisi atau kanal-kanal media sosial.
Nah, saya yakin, ketika sedang menyaksikan program acara semacam liputan perjalanan ke daerah pedalaman tadi, kita lantas spontan menumpahkan kata wow.
Dimana kita mencoba meresapi cerita liputan penjelajahan lewat akses perjalanannya yang rumit. Dan juga ketika sedang mencecap beragam bumbu tayangan mengenai pola kehidupan yang masih dijalankan dan terikat kuat dengan doktrin adat-istiadat setempat.
Klimaknya, adalah ketika kita berhasil menangkap basah kebiasaan pola hidup sehat masyarakat pedalaman, yang –mungkin- bertolak belakang dengan pengetahuan kesehatan, yang hanya dipahami oleh kita, yang notabene sebagai ‘orang kota’
Dan yang paling waw lagi, adalah ketika kita juga berhasil menyimpulkan jika ternyata daerah pedalaman masih berkelidan dengan ancaman masalah Kesehatan sampai kini.
Ya maklumlah! Fasilitas Kesehatan serta proses penyampaian edukasi penting soal Kesehatan memang belum massif dilakukan.
Dan masyarakatnya juga masih mengandalkan doktrin pengetahuan kesehatan ala adat-istiadat setempat.
Yuk ikut saya ke Mahulu!
Biar tidak penasaran, saya ingin kenalkan salah satu Kabupaten pemekaran baru, di Kalimantan Timur, di daerah domisili saya ini, yang masuk dalam kategori daerah pedalaman itu.
Dialah Kabupaten Mahakam Hulu, atau disebut Mahulu, yang merupakan pemekaran Kabupaten Kutai Barat. Saya sempat mengunjunginya, pada tahun 2019 lalu.
Daerah ini terdapat di bagian hulu sungai Mahakam, yang berbatasan dengan Negara bagian Serawak, Malaysia. Letak Geografis-nya yang terpencil, membuat akses menjamahnya jadi sulit.
Hal itu sudah bisa menjawab, bagaimana harga barang-barang pokok, konsumsi masyarakat, serta logistik obat-obat sangat bernilai tinggi dan terkadang sulit didapat.
Mengunyah pemandangan daerah Mahulu tambah syahdu lagi. Dimana hampir 85% Mahulu, wilayahnya tertutup rimba. Anggap saja itu buah manis yang bisa dirasakan, ketika berhasil menjangkaunya.
Namun memang diperlukan pengorbanan, yakni waktu dan tantangan berat ketika berselancar di riam sungai nan terjal, menggunakan speadboat, loang-boat, atau perahu ketinting.
Jika musim Kemarau tiba, akses sungai jadi tertutup. Karena kondisi air sungai surut tidak dapat dilewati perahu apapun, karena dasar sungai dangkal dan terjal.
Jika mau nekat juga, ya jalan darat bisa saja menjadi tantangan selanjutnya, meski badan jalan bisa dikatakan belum layak, terlebih jika musim hujan, rusak parah.
Dari ibukota Provinsi Kaltim Samarinda, waktu yang dibutuhkan ke Mahulu menggunakan jalur sungai memakan waktu dua hari. Jalur darat bisa memakan waktu sekitar 14 jam-an hingga ke Ujoh Bilang, Mahulu.
Menggunakan Pesawat bisa juga sih, namun jadwalnya kesana hanya 3 kali seminggu itupun berkapasitas terbatas, menggunakan pesawat perintis.
Terlebih, Bandara Datah Dawai Mahulu, letaknya juga jauh dari ibukota Kabupaten Mahulu, Ujoh Bilang, dan harus menyelesaikan perjalanan sekitar 5-6 jam-an lagi menggunakan spead boat untuk sampai ke sana.
Artinya, dengan akses rumit ini, tentu akan menyulitkan pembangunan daerah, yang selanjutnya bisa melayani masyarakat secara maksimal.
Terutama bagaimana upaya Pemerintah menyalurkan pasokan logistik bahan pokok dan pelayanan kesehatan yang diperlukan masyarakat pedalaman sepanjang waktu.
Pandemi, kelaparan dan ancaman kesehatan
Nah jika di masa normal saja, masalah Geografis sudah menjadi masalah pelik dalam menyalurkan distribusi barang dan mobilitas masyarakat bepergian keluar-masuk.
Tentu saja, masa Pandemi, akan membuat kesulitan dalam hal pemenuhan kebutuhan tadi, menjadi lebih rumit.
Terlebih, akses kesana juga dibatasi dengan kebijakan pengetatan mobilitas warganya agar di rumah saja. Termasuk keperluan keluar-masuk warga untuk proses perobatan ke kota besar di Kaltim, macam Samarinda dan Balikpapan.
Belum lagi, masalah besar ekonomi, buntut Resesi Pandemi, akan sekaligus mengancam masalah kesehatan masyarakat di pedalaman. Dan berimbas pada masalah penting bagi terciptanya kualitas SDM kedepan.
Yakni sederet masalah kesehatan anak/Balita yang terancam pemenuhan gizi baik, dan juga bisa meningkatkan kasus kematian Ibu hamil dan bayi yang dilahirkannya.
Kasus Stunting yakni gagal berkembang pada anak, salah satunya, yang bisa disebabkan ancaman gizi buruk tadi bisa terjadi akibat langkanya kebutuhan pokok dan obat-obatan.
Jadi ingat kasus Stunting di Indonesia yang memiliki tingkat Prevelesi tinggi 27.7% di tahun 2019 lalu.
Artinya, angka itu mengingatkan jika 3 dari 10 anak Balita berpotensi mengalami Stunting. Padahal WHO hanya mentolerir prevelensi 20% angka Stunting di suatu negara.
Prevelensi wasting atau berat badan sangat kurang di tahun 2019 di Indonesia memang hanya 7.44%. Namun Wasting, menurut WHO sudah menyumbang 60% kematian anak Balita, sebagai penyakit bawaan terhadap penyakit infeksi mematikan.
Di Mahulu sendiri, Prevelensi Stunting menyentuh angka 30.4% di tahun 2017. Tentu kisaran angka ini terus akan menjadi perhatian, dalam mengedukasi soal kesehatan, terutama pola makan sehat pada ibu hamil.
Dan ini adalah ancaman yang sangat penting untuk dipahami, terlebih di masa Pandemi ini kan?
Dimana sekali lagi, faktor Geografis daerah pedalaman serta menurunnya tingkat ekonomi masyarakatnya, bisa saja mendukung ancaman kesehatan tadi untuk terwujud.
Mencerna survey Persagi atas atas ancaman kekurangan Gizi di masa Pandemi
Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) menyebut jika tren ketahanan pangan di skup keluarga di masa Pandemi yang tidaklah memadai. Nah oleh karena itu, Persagi membuktikannya dalam survey Wahana Visi Indonesia.
Survey itu dilakukan pada rentan 12-18 Mei 2020 terhadap 900 rumah tangga, 943 anak dan 15 informan kunci.
Dan akhirnya Survey menyebut, jika mata pencarian 9 dari 10 responden rumah tangga terdampak, dan 7 dari 10 terdampak parah oleh Pandemi.
Dari semua responden hanya 39% yang menyatakan mampu dan tidak terdampak. Dan hanya sebanyak 20,4% rumah tangga yang memiliki persediaaan makanan maksimal dalam seminggu ke depan.
Lalu, sebanyak 43% responden juga mengatakan, mampu memenuhi kebutuhan obat-obata nyang diperlukan. Sedangkan 54% responden menyatakan mampu memenuhi kebersihan dan sanitasi pribadi.
Artinya, survey ini menjadikan pertanda jika kondisi Pandemi akan meningkatkan resiko malnutrisi akut dan kronis pada anak.
Selanjutnya, tentu akan membuat kemampuan rumah tangga menyediakan makanan utama sesuai standar, terutama rumah tangga yang memiliki anak Balita 6-9 bulan.
Begitupula ibu hamil dan juga ibu menyusui juga berkurang tingkat pemenuhan kebutuhannya.
Nah, jika ada teori lingkungan kotor dapat menyebabkan penyerapan gizi yang terhambat, itu benar adanya .
Hasil suvey ini bisa menjadi sandaran untuk segera dilakukan hal penting lagi kan oleh Pemerintah secepatnya kepada masyarakat di daerah pedalaman kan?
Apa yang seharusnya para Ibu mengerti?
Mengutip Teguh Santoso, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mahulu, jika ada dua hal yang terus diedukasi kepada masyarakat daerah Mahulu sendiri terkait penanganan kasus Stunting dan kasus kematian Ibu/Bayi.
Pertama, anak yang sudah terlanjur mengalami Stunting, perlu intervensi sebelum masa pertumbuhannya berhenti. Masa pertumbuhan perempuan akan berhenti pada usia 20 tahun, dan laki-laki pada usia 30 tahun.
Sebelum pertumbuhan berhenti, asupan gizi seimbang harus mendapat perhatian dari Orang tua.
Terutama pada usia emas 9 tahun, di mana masa itu harus diberikan perhatian khusus bagi anak. karena usia ini anak akan mengalami lompatan pertumbuhan yang sangat pesat.
Kedua, pecegahannya ya kembali lagi dengan menyediakan asupan gizi yang cukup mulai janin hingga usia anak 2 tahun, atau 1000 hari pertama kehidupan anak, hal ini harus menjadi catatn bagi sang Ibu.
Selanjutnya, sang ibu bisa memenuhinya dengan mengkonsumsi beragam sayuran dan buah-buahan. Dan ketika melahirkan juga harus menggunakan ASI sebagai asupan gizi penting anaknya.
Kata kuncinya dari edukasi tadi, ya kembali lagi, pada suplai kebutuhan pokok yang berstandar gizi yang baik, dan memastikannya untuk dikonsumsi oleh masyarakat dengan mudah.
Terutama pada ibu hamil dan juga asupan gizi untuk Balita/anak-anak.
Terus permasalahan adalah?
Kita pasti sepakat jika semua hal di atas menjadi sangat penting untuk segera ditindak lanjuti kan?
Terutama semua hal terkait edukasi kesehatan yang barusan kita singgung. dalam hal ini upaya nyata pencegahan ancaman kesehatan di daerah pedalaman tadi.
Namun, jelaslah selain kendala klasik infrastruktur dijumpai. Sentuhan tangan tenaga kesehatan, dokter spesialis gizi, kandungan dan anak, yang dirasa juga masih langka keberadaannya di pedalaman.
Hal ini sudah menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang terus menahun. Dimana tentu saja untuk mewujudkannya, akan membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Ada dua hal yang teramat penting yang seharusnya dilakukan Pemerintah kepada masyarakat terkait hal ini, menurut saya.
Pertama, hal yang tersulit adalah merubah mindset masyarakat untuk peka terhadap pola hidup sehat sebenarnya.
Dimana tentu saja, pola atau kebiasaan mereka sudah terpaku atas adat istiadat yang tertancap dalam di pikiran mereka. Dan parahnya, pola ini dirasa –masih- tabu untuk dilanggar.
Kedua adalah, mendorong bagaimana para ibu hamil mau melakukan pemeriksaan kehamilannya sampai persalinan bayinya hanya di pusat kesehatan masyarakat yang layak.
Dimana ya nantinya, mereka mau mengerti begitu pentingnya memeriksakan perkembangan janin/anak/Balitanya di pusat kesehatan masyarakat secara disiplin.
Jika hal ini dilakukan pembiaran , otomatis akan memperkuat pola hidup sehat ala adat istiadat yang meraka sudah yakini bertahun-tahun di daerahnya itu.
Akhirnya, untuk mewujudkannya dua hal tadi, kita boleh dong menghayalkan di masa depan, kira-kira apakah akses kesehatan yang baik untuk sesama itu mampu hadir di pedalaman Nusantara? Iya di sini di Mahulu!
Belajar dari Bavon Digoel, Papua!
Secara status Bavon Digoel dan Mahulu bisa jadi sebelasa-duabelas. Dimana kedua wilayah yang sama-sama berada di perbatasan, dan masuk ke dalam istilah daerah pedalaman.
Namun nasib Bavon digoel yang berada jauh di Papua sana, bisa malah dikatakan Mujur.
Iyalah mujur, lihat saja, dengan kendala Geografis yang sama-sama rumit seperti di Mahulu, masyarakat Bavon Digoel, kini, sudah sudah mampu mengenal dan menjamah akses kesehatan yang baik untuk sesama tadi dengan mudahnya.
Terutama, hal ini sudah disokong dengan lajunya pembangunan infrastruktur jalan yang dapat mengalirkan kebutuhan pokok dan logisitik kesehatan di daerah itu relatif lancar.
Dengan predikat daerah pedalaman ini jua, Kabupaten Bavon Digoel juga sudah menunjukkan jika daerahnya dan masyrakatnya sudah peduli dengan pola hidup yang relatif sehat.
Terlebih lagi sudah berhasil menjawab fasih upaya-upaya menekan kasus gizi buruk anak, yang menyebabkan kasus kematian ibu, Balita serta Stunting dari tahun ke tahun menjadi menurun.
Nah jika melihat data dari Pemerintah daerah Kabupaten Bavon Digoel di tahun 2016. Angka infant mortality mencapai 115 orang per 1000 orang dan sudah menempatkan Papua menjadi peringkat pertama di Indonesia.
Dan untuk kasus Neonantal mortality di Papua terdapat 54 orang per 1000 orang, dan menempati urutan ke tujuh Nasional.
Namun lihat pula di rentan periode 2015-2018, tercatat nihil untuk kasus kematian ibu hamil dan ibu melahirkan di Kabupaten Bavon Digoel sendiri.
Hadirnya Klinik Asiki!
Rahasianya ternyata, sejak 2017 lalu, Kabupaten Bavon Digoel sudah memiliki akses kesehatan yang baik untuk sesama yang bernama, Klinik Asiki.
Meski hanya sebuah Klinik, pusat kesehatan masyarakat ini telah menampilkan wajah fasilitas kesehatan yang memadai.
Klinik ini dibangun di atas areal seluas 1.100 m2 di Distrik Jair, Papua di wilayah perbatasan Indoenesia dan negara Papua Nugini. Dan sudah menghadirkan banyak fasilitas modern di dalamnya.
Coba masuk saja dan lihat! Terdapat ruang rawat jalan, rawat inap, ruang bersalinnya. Ada juga perawatan perwatan bayi/Perinatologi, IGD, ruang bedah minor, ruang USG, Farmasi serta fasilitas Ambulance-nya.
Dengan akses kesehatan itu, Klinik Asiki bisa menyalurkan layanan kesehatan melalui layanan poli umum, poli gigi, laboratorium yang memadai kepada masyarakat.
Dan yang terpenting adanya program edukasi penyuluhan kesehatan dan perbaikan status gizi masyarakat di sana. Semua layanan telah dihadirkan cuma-cuma alias gratis.
Dan secara umum, Klinik ini sudah berhasil meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat di sekitar Papua.
Dimana dahulu sebelum Klinik ini hadir, masyarakat harus menempuh perjalanan hingga 12 jam untuk mengakses fasilitas kesehatan terdekat yang berada di Kabupaten Merauke.
Nah semua daya upaya tadi, sudah terbukti nyata memberikan impact kepada masyarakat secara langsung. Dan akhirnya BPJS Kesehatan pada Agustus 2019 pun mengakui upaya yang dijalankan Klini Asiki efektif.
BPJS lalu memberikan penghargaan kepada Klinik Asiki, sebagai Klinik terbaik Nasional untuk Fasilitas Kesehatan Tigkat Pertama (FKTP). Dan juga predikat Best Performance Klinik Pratama se-Papua dan Papua Barat pada tahun 2017.
Menjajal Mobile Service Klinik Asiki, gratis buat masyarakatnya!
Sudah dibahas di awal tulisan, jika pedalaman memang sangat rentan sekali terhadap ancaman gizi buruk.
Dan banyak menjadi sebab kasus kematian ibu hamil/bayi dan juga Stunting. Terlebih di masa Pandemi ini, yang menahan masyarakat terbiasa di rumah saja!
Jika kita melihat angka kasus kematian ibu melahirkan (AKI) secara nasional saja yang tercatat 309/100.000 ibu melahirkan.
Oleh sebab itu, prioritas terhadap langkah pencegahan dan penekanan AKI menjadi pilihan utama, Klinik Asiki. Dan hal prioritas ini, sudah menjadi salah satu dari delapan program prioritas lainnya yang jua bersama dijalankan di Klinik Asiki itu.
Nilai plus lainnya, yang menjadi keseriusan program ini adalah, dengan hadirnya layanan puskesmas keliling atau mobile service layanan kesehatan yang menjangkau kampung-kampung.
Tim medis Klinik Asiki, langsung turun langsung ke lapangan, untuk melayani kesehatan masyarakat, terutama pelayanan kesehatan ibu, Balita dan keluarga berencana (KB)
Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan para ibu hamil dan Balita untuk bisa aktif kembali memeriksakan kesehatannya secara berkala.
“Pengobatan jadi lebih dekat dan lebih bagus,”
— ujar Anna Ametong, salah seorang pasien Klinik Asiki.”
Nah, hal ini sudah berhasil menjadi edukasi efektif untuk membiasakan pola hidup sehat.
Dimana selama ini mereka cenderung mengandalkan cara tradisonal yang kurang safety dan higienis, dalam melakukan pengobatan, utamanya persalinan di dalam hutan.
Korindo, menjadi mitra penting Pemerintah Daerah Papua, mewujudkan akses penting di Bavon Digoel!
Korindo Group, merupakan Perusahaan di bidang Perkebunan Kelapa Sawit yang berdiri di Kabupaten Bavon Digoel, Papua dan sudah ikut bersama Pemerintah menterjemahkan pembangunan Nawa Cita.
Yakni, kontribusinya yang ikut jua pro-aktif dalam menghiasai wilayah perbatasan dengan deru pembangunan mayarakat.
Selain menghidupkan roda perekonomian masyarakat Bavon Digoel, dengan memberikan banyak lapangan pekerjaan, Korindo juga membangun masyarakatnya dari sisi sosial yang berkualitas.
Kehadiran Korindo sudah menjadi kunci penting, pembangunan kesehatan di Papua yang kita bahas tadi lewat pembangunan dan pemanfaatan Klinik Asiki untuk masyarakat.
Dan kehadiran Klinik Asiki sudah menjadi kebanggaan warga perbatasan Bavon Digoel . Dan terbukti sudah berhasil memberikan banyak akses yang baik untuk sesama.
Menyadari akses wilayah perbatasan yang sangat minim, bukan tantangan di bidang kesehatan saja yang menjadi prioritas Korindo. Namun di sisi Infrastruktur Korindo telah mendukungnya untuk juga memudahkan banyak akses bagi masyarakat Bavon Digoel.
Sarana sosial lainnya, seperti tempat ibadah, sekolah serta Jembatan juga tengah diusahakan dan hadir di tengah Masyarakat.
Dan kehadiran akses infrastruktur tadi secara langsung, mempermudah kelancaran arus logistik dan juga mobilitas tim medis untuk meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat di penjuru Bavon Digoel.
Bisakah Klinik Asiki Model pembangunan kesehatan di daerah pedalaman?
Nah, memahami hal di atas, kita pastilah sepakat jika Pandemi merupakan ancaman nyata bagi kesehatan masyarakat dimanapun berada kan?
Dan lagi, hal ini semestinya akan memacu upaya Pemerintah dalam memenuhi semua kebutuhan yang diperlukan masyarakat selama Pandemi berlangsung.
Tak terkecuali, perhatian utama terhadap pelayanan kesehatan di semua daerah pedalaman Indonesia.
Namun ya pastilah, untuk membangun kesempurnaan seperti harapan masyarakat tadi, tidak lah mudah.
Perlu proses waktu dan juga anggaran biaya yang tidak sedikit jumlahnya bagi Pemerintah daerah pedalaman untuk mewujudkannya..
Nah, menurut saya, akhirnya ada dua hal yang penting terkait meningkatkan kualitas kesehatan di daerah pedalaman saat ini juga, di masa Pandemi. Apa saja itu?
Pertama, Pemerintah daerah pedalaman terus memacu layanan kesehatan di pedalaman
Klinik Asiki tentu saja bisa dijadikan motivasi daerah pedalaman lainnya. Jika ternyata ada daerah pedalaman, yakni Bavon Digoel yang berhasil menyediakan akses kesehatan yang baik untuk sesama kepada masyarakatnya.
Pola layanan Puskesmas keliling atau mobile service yang dilakukan Klinik Asiki juga bisa menjadi saran yang patut dicoba dalam menjamah masyarakat pedalaman lebih massif lagi. Guna mencapai derajat kesehatan yang dinginkan bersama.
Dengan akses kesehatan yang memadai, tentu saja akan menjadi pintu gerbang menangani permasalahan ancaman kesehatan, terutama kasus kematian ibu melahirkan, dan Prevelensi Stunting yang menjadi isu hangat saat Pandemi.
Sehingga janji-janji pelayanan kebijakan populis Pemerintah daerah tidak sekedar basa-basi, dan setengah hati lagi.
Kedua, daerah bisa membuka diri, terhadap potensi eksplotasi berkelanjutan
Bavon Digoel dan banyak daerah pedalaman lainnya tentu menyimpan koleksi potensi wilayah yang bisa dikembangkan menjadi sumber pendapatan daerah.
Dan selanjutnya dapat digunakan untuk pembiayaan pembangunan, serta pembiayaan pelayanan lainnya kepada masyarakat.
Nah, memulainya, sudah saatnya daerah membuka diri secara inklusif, dalam memajukan daerahnya tadi. Tentu saja dengan giat menawarkan semua potensi tadi ke dunia luar, yang bisa menghadirkan Korporasi besar duduk bersama mengolahnya.
Bavon Digoel bersama Korindo, sudah membuktikan itu! Dimana tidak ada salah satu pihak dirugikan atas pemanfaatan potensi wilayah daerah pedalaman yang sedang dieksploitasi.
Dan sikap ini, malah bisa mewujudkan dan memperkuat layanan kesehatan yang penting itu, yang terselip dalam banyak program tanggung jawab Korporasi besar di tengah masyarakat.
Dalam hal ini ya pembangunan dan pemanfaatan Klinik Asiki tadi oleh Korindo. Tujuannya ya jelas secara langsung, ikut menumpas ancaman kesehatan di masa Pandemi secara nyata.
Nah dua hal penting, itu menurut saya menjadi hal yang layak dicoba bagi semua daerah pedalaman Nusantara. Untuk bersama bisa mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di mana saja berada.
Ya terutama lewat penyediaan akses kesehatan yang baik untuk sesama!
Daftar bacaan
- https://www.thejakartapost.com/adv/2020/07/21/good-health-for-all.html?
- https://humas.mahakamulukab.go.id/index.php/2016/08/25/pelayanan-perdana-puskesmas-apung-di-datah-bilang/
- https://persbhayangkara.id/2019/11/28/pengobatan-keliling-wujud-peduli-satgas-yonif-raider-303-ssm-kostrad-terhadap-kesehatan-warga-perbatasan/
- https://kaltim.antaranews.com/berita/59340/dinkes-mahakam-ulu-tangani-304-persen-balita-stunting
- https://properti.kompas.com/
- https://korindonews.com/
- https://korindonews.com/asiki-clinic-manages-to-reduce-maternal-and-child-mortality-rate-in-boven-digoel/?lang=id