Jika Pandemi bisa dipadamkan oleh Imunisasi lengkap covid-19, harapan penerimaan vaksin imunisasi dasar lengkap anak-anak sepantasnya juga terselesaikan, bukan?
Aku menyegerakan datang ke Bandara YIA Yogyakarta pukul 07.00 WIB, Kamis, (22/04/2021). Meski jadwal penerbangan Yogya-Samarinda sebenarnya masih pukul 12.00 WIB. Hal itu karena, aku harus melengkapi syarat bepergian, yakni tes negatif Covid-19 Genose di sana.
Selain aku, ternyata banyak sekali calon penumpang pesawat yang ingin mendapatkannya jua. Wajarlah, harga tes covid-19 Genose terjangkau dan banyak memilihkannya sebagai syarat bepergian di awal masa Pandemi
Mengantre sekitar 30 menitan, tibalah giliranku masuk kamar tes, mendapatkan sebuah kantong udara.
Aku lantas meniupnya, hingga kantungnya menggelumbung. Lalu kukembalikan kepada petugas.
“Sudah pak, mohon kembali ke kursi menunggu,” ujar petugas sambil berkemas pergi, dan menyemprotkan disenfektan di sekelilingnya.
Hatiku mulai cemas, kala sesaat petugas di balik meja memanggil namaku lagi. Aku bergegas kesana saja.
“Pak maaf hasilnya positif,” ujar petugas memberikan selembar suratnya kepadaku.
“Boleh alternatif tes lainnya, pakai swab-antigen di ruang sebelah, untuk memastikannya lagi,” Sambungnya.
Aduh, artinya, niatan berhematku jadi kandas, dan memaksa menjalani swab anti-gen yang harganya masih mahal-mahalnya saat itu. Namun bersyukurlah, hasil swab-antigen ternyata negatif dan membiarkanku terbang pulang ke Samarinda.
Duh, jujur kenangan bak prank itu masih membekas di hati. Tak bisa kubayangkan, jika di awal masa pandemi mendapati tularan virus covid-19, dan membuat orang-orang di sekitarku berstatus kontak erat covid-19 denganku.
Namun, beruntunglah membandingkan awal Pandemi dahulu dengan kondisi di awal 2022 kini sungguh jauh berbeda ya?
Dimana syarat bepergian kemana-mana menjadi sangat mudah, hanya menunjukkan sertifikasi imunisasi lengkap, vaksin booster covid-19. Dan itu juga gratis didapatkan dari Pemerintah!
“Vaksinasi booster adalah vaksinasi COVID-19 setelah seseorang mendapat vaksinasi primer dosis Lengkap yang ditujukan untuk mempertahankan tingkat kekebalan serta memperpanjang masa perlindungan””
— dr. Maxi Rein Rondonuwu, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, ditukil dalam laman Kemenkes
Riset Kemenkes 2020, mencatat dari 110.639 responden, sebanyak 64.89% diantaranya ternyata mengatakan siap menerima imunisasai vaksin covid-19. Namun, sisa responden lainnya, masih ragu, dan bahkan menolaknya.
Nah, rasanya kemudahan berkat imunisasi lengkap, lambat-laun berhasil merangsang sedikit-demi sedikit penerimaan masyarakat luas terhadap imunisasi lengkap Covid-19.
Dan berpotensi membukakan kembali aktivitas mayarakat yang telah lama terkunci sejak 2020 lalu.
Hatiku lantas bergumam, jika penerimaan imunisasi covid-19 masyarakat berangsur membaik seiring waktu hingga saat ini. Tentu akan mampu jua memberikan sebuah optimisme baru, atas sebuah jawaban, kapan Pandemi ini akan berakhir kan?
Nah, rasanya meresapi urgensi Imunisasi lengkap covid-19 di masa Pandemi, akan memberi arti penting? Yakni menanggalkan sebuah kesadaran masyarakat, untuk menghadirkan kesehatan bersama keluarga tercinta, kini dan nanti.
Imunisasi menyipta generasi sehat dan kuat
Bagi kaum Millenial sepertiku, istilah imunisasi sudah berhasil mengingatkan pada kenangan pada masa kecil dulu saja?
Dimana program Imunisasi dasar lengkap sengaja membidik segmentasi anak-anak umur 12-23 bulan.
Masih ingat? Lima imunisasi dasar lengkap itu terdiri dari vaksin Hepatitis B 1kali, BCG 1 kali, polio 4 kali, DPT-HB 3 kali dan campak 1 kali.
Anjuran Kemenkes. imunisasi dasar lengkap itu harusnya didapatkan sebelum anak-anak berusia satu tahun.
Nah, mengingat-ingat hal itu sebenarnya menegaskan kembali pula. Jika istilah imunisasi, sebenarnya sudah menjadi istilah lazim, yang sudah lama digaungkan, dan terbukti memberikan keampuhannya mengatasi penyakit tertentu, bukan?
Definisi Imunisasi yang kita sudah pahami sejak dahulu adalah sebuah proses dalam tubuh, agar seorang memiliki kekebalan terhadap suatu penyakit.
Dimana, jenis penyakit yang terbukti mampu dicegah dini dengan imunisasi (PD3I) di Indonesia berupa BCG, Polio, Difteri, tetanus, hepatitis, campak dan rubela.
Namun, jika melihat progres imunisasi dasar lengkap anak-anak di masa Pandemi ini, bisa menjadi sebuah kewasapadaan selanjutnya.
Dalam catatan Kemenkes saja, capaian imunisasi dasar lengkap anak-anak pada masa Pandemi malah mengalami penurunan. Dimana per oktober 2021, cakupan imunisasi dasar lengkap anak-anak baru mencapai 58.4% dari target 79.1% target anak-anak Indonesia.
Nah, jika melihat fenomena itu rasanya mudah sekali memotret sebuah pola dinamika yang berkonteks pada proses-proses pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia, yang belum optimal.
Keduanya, baik imunisasi dasar lengkap, dan imunisasi lengkap covid-19 menampakkan tren progress yang berlawanan, dimana seharusnya mampu berjalan jua secara simultan.
Pola pertama yakni, massifnya penerimaan imunisasi covid-19 masyarakat, meski ketersediaan vaksin covid-19 masihlah terbatas.
Pemakluman itu, dikarenakan produksi vaksin yang masih menggantungkan negara lain. Dan juga formulasi vaksin Covid-19 yang masih menyesuaikan varian mutasi virus covid-19 yang terus berkembang selama Pandemi.
Pola kedua, adalah tantangan klasik yang belum jua terpecahkan, berupa masih massifnya jua penolakan orang tua terhadap vaksin imunisasi dasar lengkap untuk anak-anak mereka.
Padahal vaksin-vaksin dasar lengkap yang sudah terbukti ampuh itu, keberadaannya melimpah di fasilitas-fasilitas kesehatan masyarakat terdekat. Dan orangtua sebenarnya hanya datang ke sana untuk mendapatkannya.
BPS mencatat di 2021, Bali menjadi provinsi dengan presentase imunisasi dasar lengkap anak-anak tertinggi sebesar 82.8%. Sementara Aceh, menjadi provinsi dengan presentase imunisasi dasar lengkap anak-anak terendah mencapai 22.73%.
Nah Kedua fakta mengena Imunisasi tadi, bisalah menjadi sebuah potensi ancaman, bagi hadirnya endemi atau Pandemi baru bagi generasi selanjutnya, selepas Pandemi covid-19 ini, bukan?
Dan pertanyaan kuncinya adalah, sampai kapan istilah Imunisasi akan menjadi akrab untuk menggaungkan kesadaran bagi masing-masing individu, terutama para orang tua, dalam ikut serta mendukung pembangunan kesehatan generasi selanjutnya? Yakni menyipta generasi sehat dan kuat sejak dini.
Dan jawaban atas pertanyaan itu sepertinya ingin menegaskan kembali, jika perjuangan kita menghadapi Pandemi lewat imunisasi lengkap covid-19 ini memanglah belum usai, bukan?
Memampukan Imunisasi lengkap covid-19, menjawab tantangan Pandemi selanjutnya?
Membedah survei Kementrian Kesehatan, dimana lebih dari setengah respondennya siap ber-imunisasi covid-19. Namun terdapat 7.5% atau 8.322 responden menyatakan menolak vaksinasi covid-19, akan menjadi menarik lagi.
Dimana, dalam survei itu memperlihatkan alasan-alasan penolakannya, seperti keamanan, efektivitas vaksin serta efek samping vaksin covid-19 yang ditimbulkannya.
Dan bersyukur, lambat-laun, keraguan atas alasan-alasan itu makin terjawab, dengan semakin tingginya efikasi vaksin covid-19 yang masyarakat sudah rasakan.
Namun terdapat satu item penolakan yang menjadi alasan klasik dalam setiap program vaksinasi, yakni masalah keyakinan ber-imunisasi yang berkonteks agama.
Dan alasan penolakan masyarakat atas dasar keyakinan agama tadi, terekam jua dalam penolakan orang tua untuk tidak bersedia memberikan imunisasi dasar lengkap kepada anak-anak sejak dahulu, sebelum Pandemi covid-19 merebak hingga kini.
Potret masyarakat daerah Aceh –misalnya—yang sering berkelindan dengan Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri dan Campak. Dimana tercatat angka kasusnya selalu berbanding lurus dengan tingginya penolakan imunisasi di sana.
Dan nampaknya, alasan terakait halal-haram vaksin menjadi soal serius untuk mendapati solusi kesadaran berimunisasi di banyak daerah Nusantara jua.
Oleh sebab itu, Imunisasi lengkap covid-19 yang sedang berjalan saat ini, harusnya mampu berjalan bersama dan menuntaskan kesadaran, jika Imunisasi jelas bertujuan mencari solusi atas ancaman Pandemi kini dan nanti.
Nah, membayangkan kelak hadir keberhasilan Aceh menaklukan imunisasi dasar lengkap anak-anak akan menjadi hal penting, bukan?
Karena keberhasilan Aceh, akan mudah menularinya kepada daerah lain, yang memiliki karakter kulture masyarakat yang sama.
Dan akhirnya dapat menuai keaktifan masyarakat luas mendatangi faslitas kesehatan, guna mendapatkan program imunisasi Pemerintah, dengan urgensi apa-saja.
“‘Ini mestinya jadi pembelajaran bagi provinsi lain. Cakupan imunisasi yang rendah dan tidak merata dapat menyebabkan timbulnya akumulasi populasi rentan yang tidak kebal terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I)”
— dr. Maxi Rein Rondonuwu, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, ditukil dari laman Kemenkes
Membangkitkan keyakinan berimunisasi
Nah potret masyarakat Aceh di atas, bisa menjadikan tantangan serius sekaligus harapan Pemerintah mampu meyakinkan imunisasi, sebagai langkah pencegahan yang telah teruji untuk mencegah penyakit menular. Sepakat?
Oleh sebab itu, perlu pendekatan-pendekatan yang mampu meyakinkan definisi Imunisasi tadi, menjadi sebuah doktrin positif dalam konteks mendukung pembangunan kesehatan daerah. Dan berakumulasi pada kesehatan bangsa kita. Apa saja itu?
1. Pendekatan pengenalan vaksin berdasarkan sains kesehatan
Dalam ilmu kedokteran, telah jelas menerangkan teori Imunisasi yang prosesnya memperkuat sistem kekebalan tubuh manusia, dari serangan kuman penyakit, baik bakteri, virus, jamur dan parasit lainnya.
Intinya, bayi dan Balita sebagai penerus generasi bangsa juga akan terlindungi dari berbagai resiko ancaman penyakit sejak dini, berkat imunisasi dasar lengkap.
Nah, jika dikenalkan lebih mendalam lagi, di dalam vaksin terdapat suatu kuman penyakit yang jinak –non aktf—yang sengaja dilemahkan.
Kemudan vaksin itu dihantarkan masuk ke dalam tubuh, dan membiarkan mereka menguatkan sistem kekebalan tubuh secara alami.
Harapannya, dalam tubuh kita sudah tercipta imun antibodi spesifik untuk melawan jenis kuman spesifik tadi.
Dan suatu ketika dalam tubuh terdapat kuman aktif itu, sistem imun yang terbentuk akan mudah mengenali dan melindungi dari potensi penyakit yang ditimbulkannya.
Nah, catatan pentingnya adalah, memang tidak ada jaminan, jika vaksin mampu bekerja sempurna mencegah penyakit. Namun menimang manfaat yang dihadirkan vaksin akan lebih besar dari resikonya.
Semisal, kita tertular dan sakit, gejala yang kita rasakan akan jauh lebih ringan, dan mudah diobati daripada kala kita tidak dimunisasi sama sekali.
Begitu pula dengan Bayi atau balita yang tidak dimunisasi, resiko tertular penyakit juga labih tinggi dan berpotensi mengalami sakit yang parah. Dan –malah– berpotensi menyebabkan kecacatan, bahkan kematian.
2. Pendekatan halal-haram Vaksin berdasarkan keyakinan Islam
Di dalam kulture dan berkeyakinan sebagian masyarakat Indonesia yang mengenakan syariat Islam dalam kehidupan harian mereka.
Imunisasi sebenarnya sudah menjadi pertimbangan penting menimang status halal-haram untuk digunakan.
Sehingga memungkinkan sekali menggunakan pendekatan agama menjadi rujukan dalam membahasakan manfaat imunisasi, yang beresensi sama seperti pendekatan secara sains di atas.
Nah, upaya pendekatan itu sebenarnya sudah dan sedang dijalankan jua, melalui fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor 4 tahun 2016.
- Pertama, vaksin dapat digunakan kala kondisi al-dlarurat atau al-hajat (mendesak).
- Kedua, vaksin dapat digunakan, ketika masih belum ditemukannya bahan vaksin yang halal dan suci.
- Ketiga, vaksin dapat digunakan, dengan adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa –memang- tidak ada vaksin yang halal.
Ketiganya jelas menjelaskan dalam islam, kewajiban melakukan Imunisasi selalu berprinsip Saad al-Dzariah.
Artinya penularan penyakit menjadi penafsiran kedaruratan itu, untuk bersama dicegah oleh masyarakat luas, terutama bagi seorang muslim.
fatwa MUI ingin menjelaskan jika seorang moslim tidak perlu khawatir saat melakukan Imunisasi.
Selama vaksin itu memberikan manfaat dan masih belum ditemukan bahan yang sesuai ketetapan syariat islam. Maka vaksin Imunisasi boleh dilakukan, bahkan berstatus wajib dikenakan.
Imunisasi lengkap sebuah kunci pembangunan daerah dan bangsa
Jika mengingat. proses memadamkan bara Pandemi sejak 2020 lalu. Pemerintah terlihat sudah sangat serius bekerja menyeimbangkan sisi kesehatan dan ekonomi menopang aktivitas harian masyarakat ya?
Termasuk memasok vaksin covid-19 yang hanya diberikan gratis, lewat lima tahapan distribusinya, dan diperuntukkan mulai dari masyarakat, aparatur negara higga pejabat legeslatif.
Dan di sepanjang 2021 terdapat rencana distribusi 102.451.500 vaksin covid-19.
Dalam perjalanannya jumlah vaksin covid-19 terus meningkat saja. Setiap orang –malah– mendapat dua dosis dengan jarak 14 hari. Dan semakin kemari ditambah dengan vaskin Boosternya.
Hal itu sengaja dilakukan untuk memperkuat proses pembentukan kekebalan/antibodi terhadap virus SARS-CoV-2, penyebab covid-19.
Per 27 Oktober 2021, penerima vaksin covid-19 terus meningkat, dan mencapai 25% dari total penduduk Indonesia. Dengan capaian itu tentu saja sudah membuka ruang gerak masyarakat perlahan untuk dapat melakukan aktivitasnya seperti biasa. bukan?
Namun, masih ada pekerjaan rumah lainnya? Yakni bagaimana mensukseskan program imunisasi lengkap covid-19 bagi anak-anak usai 6-17 tahun, mendukung aktivitas belajar tatap muka di sekolah-sekolah.
Momen itu pastilah akan menjadi tantangan dan harapan jua, untuk sekaligus meningkatkan kesadaran peran orang tua terhadap urgensi imunisasi lengkap, pada langkah pencegahan Pandemi.
Termasuk langkah itu diharapkan jua mampu meredam penolakan imunisasi dasar lengkap dan akhirnya mencipta keaktifan orang tua melakukan imunisasi untuk anak-anaknya.
Nah dari data Kementrian Kesehatan, mencatat per 21 February 2022, sudah terdapat 92% anak remaja usia 12-17 tahun mendapatkan imunisasi covid-19 dosis pertama, dan 74.2% dosis kedua.
Sedangkan untuk kelompok anak-anak 6-11 tahun, cakupannya imunisasi lengkap covid-19 hanya mencapai 68.98% dan dosis keduanya lebih rendah lagi yakni 36.02%.
Lantas, benar kan? Jika data itu berpotensi menjadikan sebuah tantangan berat bagi kita semua untuk mampu menyelesaikan program Imunisasi lengkap secara simultan, baik covid-19 dan juga imunisasi dasar lengkap anak-anak?
Pemerintah daerah sebagai garda terdepan menyelesaikan paket imunisasi lengkap masyarakat
Ingatkah Pasca Reformasi 1998? Disentralisasi kekuasaan didistribusikan dalam paket hak otonomi daerah. Paket itu harusnya menjawab tuntutan atas akselerasi pembangunan merata di seluruh daerah Nusantara.
Namun praktiknya, penafsiran hak otonomi daerah sekilas hanya berkonteks ekonomi semata ya?
Yakni hak kemandirian daerah, mengelola Sumber Daya Alam (SDA), untuk dikonversi ke dalam kurs pembangunan Infrastruktur.
Salah? Ya tidak salah sih, selama pengelolaan SDA juga bisa berdampingan dengan upaya pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) daerah.
Dimana Pembangunan SDM juga merupakan satu paket kesejahteraan, yang menjadi impian kita semua.
Salah satu keberhasilan pembangunan SDM daerah, lantas bisa diukur dengan mudah di masa Pandemi ini. Yakni lewat terbentuknya karakter dan mental masyarakat yang telah mampu tampil fleksibel memahami dan menerima hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi (Iptek) terkini.
Fenomena itu sudah nampak pada masyarakat kita, yang telah rela dan sungguh-sungguh mengikuti anjuran Pemerintah, seperti bermasker dan physical–distancing guna mengurangi penyebaran Covid-19.
Dan terpenting sudah mendapati imunisasi lengkap covid-19, bukan?
Nah dalam mengakselerasi hal itu, bagi saya terdapat ada tiga langkah yang bisa ditempuh Pemerintah daerah, menebar gelora optimisme pembangunan SDM lebih massif lagi. Guna meyakinkan terbentuknya karakter inklusif masyarakat daerah menerima paket-paket Imunisasi.
1. Memasifkan fatwa MUI/lembaga keagamaan
Nah Fatwa MUI dapat menjadi bancakan kampanye kesehatan mengenai pentingnya Vaksin di tengah masyarakat daerah.
Maunya, lewat pendekatan fatwa yang beririsan dengan keyakinan agama islam dan kedokteran, tentu akan melembutkan kekakuan masyarakat daerah berpartisipasi dalam program imunisasi secara massif.
2. Menelurkan Perda Kewajiban Imunisasi
Pandemi tentu saja sudah mengajarkan banyak hal kan? Terutama banyaknya korban jiwa yang melayang akibat Covid-19. Malah beberapa Pemerintah daerah seperti Jakarta tegas menelurkan kebijakan mewajibkan vaksinasi covid-19, jika tidak diindahkan, denda-pun menanti.
Langkah tegas ini, tentu saja bisa dicopy-paste Pemerintah daerah lainnya dengan tegas atas dasar rujukan fatwa lembaga keagamaan/adat. Sehingga kemauan, ketegasan Pemerintah daerah memasifkan vaksinasi lengkap tercapai segera!
3. Menjadikan Daerah lebih inklusif, secara ekonomi
Aceh dan Papua adalah daerah yang sama-sama memiliki presentasi partisipasi imunisasi yang minim.
Secara Geografis, keduanya tentu bisa dikatakan sama, dimana akses dan infrastruktur juga masih minim dirasakan, meski kedua daerah ini berjargon Otsus.
Dan Dana Otsus, memang tidak lah pernah cukup untuk hal kesehatan semata, jika harus berbagi dengan kebutuhan lainnya. Dana tersebut harus berbagi untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi masyarakat, pengentasan kemiskinan, pendidikan.
Nah Pemerintah daerah seharusnya bisa berkolaborasi dengan swasta. Dengan mencoba menjadi inklusif mengundang investor apa saja untuk datang ke daerah.
Dengan kontribusi dan terus mendorong hadirnya sustainability koorporasi swasta, pastilah mampu mewujudkan pendanaan memperkuat program pembangunan apa-saja.
Akhirnya upaya itu bisa menambal defisit infrastruktur kesehatan dan tenaga medis, yang memudahkan akses masyarakat menuju pusat-pusat kesehatan.
Terpenting lagi hadirnya akulturasi masyarakat pendatang yang bekerja di daerah yang dapat menularkan karakter positif fleksibilitas penerimaan kemajuan Iptek terkini, dan karakter inklusif.
Yuk Sehatkan keluarga lewati Pandemi dengan Imunisasi lengkap
Terakhir, jawaban soal kapan masyarakat Indonesia bisa menerima kehadiran Imunisasi lengkap tanpa syarat?
Jawabannya bisalah bernada sama, lewat pertanyaan kapan dan bagaimana daerah bisa mengakhiri Pandemi?
Jawaban itu lantas bisalah disandarkan pada keyakinan, dimana hanya Tuhan saja yang tahu? Namun bila disandarkan pada konteks sains kesehatan, Imunisasi bisa menjadi ihtiar manusia, guna meredam Pandemi ini.
Akhirnya, urgensi Imunisasi lengkap di masa Pandemi, menjadikan pendekatan akan pemahaman kita, menjawab masalah minimnya partisipasi vaksinasi pada lingkaran keluarga kecil kita, untuk lebih aktif.
Nah apakah kita masih menyerah dengan penolakan vaksinasi di masa Pandemi?
Jawabannya, jika Pandemi bisa dipadamkan oleh Imunisasi lengkap covid-19, harapan penerimaan imunisasi dasar lengkap anak-anak sepantasnya juga terselesaikan.
Dan pada akhirnya, Imunisasi benar-benar memberikan kesehatan keluarga Indonesia kini dan nanti. Dan muaranya mampu menggerakkan arah pembangunan bangsa lewat SDM generasi muda sehat, cerdas dan kuat.
#imunisasi #covid-19
Note : Semua sumber referensi data sudah ditautkan dalam link