Tiga Hak Digital
Kapan sih terakhir jatuh cinta? Pasti jawaban atas pertanyaan itu akan mampu menyita waktu sejenak, tuk mengingat-ingatnya lagi. Terlebih, kita sudah merasa hidup ‘sejahtera’ di dunia maya, dan mudah memantik perkenalan yang berpotensi melahirkan ekspresi ‘cinta-cinta’ baru di setiap waktu, bukan?
Nah teringat kali pertama mengenal maya dahulu, entah mengapa kepercayaan begitu murah diserahkan kepada sirkle perkawanan di sana.
Dimulai soal berbagi ekspresi suka dan duka apa saja, demi mendapatkan wujud like dan komentar nan melimpah.
Dan, rasanya wujud like dan komentar tadi bisa menjadi sebuah candu kenikmatan ekonomis, sosial ataupun politis? Meski kita sadar, jika dibalik kenikmatan itu berpotensi melahirkan rasa cinta dan benci buta untuk mampu melakukan hal apa saja di dunia maya.
Lantas, semakin kemari, ekspresi cinta dan benci itu akhirnya mampu merefleksikan wujud perbedaan kita, yang hadir di tengah sirkle pertemanan maya tadi.
Dimana interaksinya kerap menghadirkan mulai drama perselingkungan, penipuan, provokasi kebencian, hingga menggerakkan ajakan post-truth via jemari dengan mudah.
Nah, harus diakui, jika media sosial sudah berhasil mengkapitalisaikan ekspresi suka dan benci kita. Dan layaknya mengajak keduanya bertanding, lewat ragam konten-konten digital-marketing yang berdimensi sosial, ekonomi dan –bahkan—politik.
Duh menyelami transformasi media sosial dahulu dan kini, rasanya sudah memberikan sebuah harapan dan tantangan bagi kita, agar lihai mengelola ekspresi cinta dan benci di ruang maya, bukan?
Nah, apakah kita semua mampu menjadi sadar atau tidak? Jika sebenarnya lompatan transformasi digital dahulu dan kini sangatlah luar biasa. bukan?
Dimana transformasi digital akan terus memahamkan kita, pada sebuah proses-proses perubahan ke arah masa depan yang harus kita lalui.
Artinya, untuk menikmati ruang digital terkini, tentu saja perlu pemahaman mendalam atas hak-hak digital apa saja yang benar-benar menjadi milik kita.
Karena lewat pemahaman hak-hak digital itulah, akan memampukan kita untuk merasakan legit manis demokrasi, dan memaknainya sebagai proses perjuangan meraih ‘kesejahteraan’
Nah, sebuah rendezvos itu, rasanya ingin mengajak kita menghitung ulang efektifitas hak-hak digital kita, yang sudah dan sedang dihamburkan di ruang maya dahulu dan juga kini.
Hal ini terpenting adalah meyeleraskan aplikasi hak-hak digital itu secara massif lagi di tengah sirkle perkawanan maya kita.
Pandemi yang melayakkan hak digital setiap warga
Masih ingat dinamika Pandemi yang menghantam dunia di awal 2020 lalu? Istilah Lockdown menjadi gunjingan pro dan kontra warga.
Dimana hadir sebuah tuntutan, jika kita harus tetap sejahtera, lewat aktivitas di rumah saja. Logiskah?
Namun layanan internet, yang jauh hadir sebelum Pandemi, menjadikan daya tawar warga untuk mampu beraktivitas dari rumah saja.
Nah, jika kita mengingat kondiisi di 2017 jauh sebelum Pandemi, sudah pula menyajikan sebuah potret atas massifnya aktivitas penggunaan layanan internet oleh warga Indonesia.
Dimana dalam sebuah survei, terekam sebagian besar layanan internet sudah berhasil dimanfaatkan warga untuk mencari berita dan juga hiburan.
Kedua aktivitas itu menjadi kegiatan rutin dan utama, yang berhasil diakses oleh 70.9% pengakses internet di Indonesia..
Terlebih lagi kini, kita sudah berhasil melawati dinamika Politik Pilpres, yang dinamikanya sudah mengoreksi banyak gaya komunikasi digital warga.
Dimana, problematika yang disemburkan di ruang maya pada saat itu, masih membekas hingga kini, bukan?
Nah terpenting untuk memahami, jika komunikasi digital warga juga memiliki karakter komunikasi global, yang mudah sekali menerobos batas-batas geografis, sekaligus batas budaya. Dimana setiap jengkal batas-batas geografisnya itu juga memliki batasan etika budaya yang berbeda pula.
Karakter inilah yang membuat dinamika ruang maya menjadi riuh, dan mampu mudah menularkan imbas negatifnya ke dunia nyata. Dan menyebabkan hadirnya istilah ‘kriminalisasi’ berkespresi menjadi meraja hingga mampu membelah ekspresi warga dengan rasa kebencian satu-sama lainnya.
Lantas, jika menarik kembali kondisi Pandemi, di tengah masyarakat terkini, pastilah kita menemukan ragam dinamika yang lebih kompleks lagi, bukan?
Dimana isu-isu sosial dan ekonomi yang menghimpit warga, mudah sekali menyulut dinamika politik untuk bergema keras, apalagi kalau bukan terkait kritik-kritik kebijakan Pemerintah mengelola masalah Pandemi.
Oleh sebab itu, Pandemi akan menjadi cermin dalam menilik kembali efetivitas jaminan tiga hak digital warga, dengan cara memampukan warga bertanggung jawab memilah cara berkomunikasi digitalnya dengan bijak.
Nah sekali lagi, semua hal itu penting dipahami untuk menjalankan tiga hal digital kita, mewujudkan tujuan kesejahteraan hidup dalam konteks seluas-luasnya.
1. Hak mengakses internet
Jujur sajalah, jika hak akses internet, akan menjadi hal penting dan mendasar yang dibutuhkan semua warga, bukan?
Dimana akses layanan internet sudah terbukti memberikan ragam solusi atas permasalahan ekonomi imbas Pandemi?
Di sana mudah terjalin komunikasi digital yang melahirkan konten digital-marketing menjual hal apa saja, bertransaksi lebih cepat, menjaring tujuan-tujuan ekonomis yang lebih cuan.
Dan hal itu, tidak dipungkiri ternyata luput diupayakan oleh industri media yang nota-bene adalah simpul-simpul aspirasi warga. Dimana ragam informasi yang diproduksi media sudah pula menjadikannya kebutuhan pokok, yang rasanya harus tersedia di genggaman warga.
Terlebih peralihan penggunaan media konvensional semakin deras ke media online, dan fenomena itu terpotret dalam data GlobalWebIndex 2020.
Nah potret masifnya peralihan aktivitas warga dari mode offline menjadi online diatas, akan mudah memantiknya menjadi katalisator positif menghadirkan infrastruktur jaringan internet yang lebih massif lagi di pelosok Nusantara.
Harapan itu tentu akan memberikan ruang yang lebih luas mengena Hak akses internet warga kini dan di masa depan, nanti.
2. Hak berekspresi di ranah digital
Layanan internet pada awal kemunculannya, sebenarnya ingin menyokong usaha digital-marketing atas barang dan jasa, agar transaksinya lebih mudah, cepat dan cuan.
Namun semakin kemari, harus diakui, istilah digital marketing sudah memakna hal yang amat luas, termasuk bagaimana menjual konten informasi, dan selanjutnya menjadikannya viral, dan lebih cuan lagi.
Nah sisi-sisi ekonomi inilah yang pasti menjadi hasrat dari massifnya industri media online bukan?
Dimana industri media, akan terus mampu mengemas ragam konten berita yang paling menarik untuk segera dinikmati dari gengaman warga.
Dan sampai di titik itulah, sebuah ujian bagi hak digital berekspresi warga ini ditempa. Dimana setelah dipantik dengan informasi berita viral, warga cenderung mulai terangsang menanggapi ragam informasi tadi, –minimal– menanamkan pendapatnya di kolom komentar medai sosial.
Simulasi itu tanpa sadar, menggambarkan begitu mudahnya ya berekpresi di ruang maya?
Meski catatan pentingnya adalah, pendapat atau ekspresi warga yang dipantik oleh sebuah informasi berita juga berpotensi membelah presepsi dan aspirasi warga menjadi pro dan kontra. Dan itu biasa terjadi di iklim demokrasi kan?
Dan disanalah sebenarnya wujud legit demokrasi itu bukan?
Dimana media sosial yang menyelipkan produk media, sudah berhasil menjadi simpul-simpul aspirasi warga terhadap sebuah isu –apa saja- untuk dicarikan solusinya.
3. Hak berekspresi harus terlindungi dari penyerangan daring
Dalam berdemokrasi pastilah akan menyajikan ragam komunikasi?
Oleh sebab tidak dipungkiri, jika media sosial yang menyelipkan ragam konten berita yang ‘terseksi’, sangat berpotensi melunturkan nilai-nilai etika dan sopan santun penggunanya.
Terlebih ekspresinya terkait kebijakan Pemerintah yang bersentuhan pada dimensi-dimensi sosial, ekonomi dan politik warga.
Oleh sebab itu, dengan ragam kepentingan yang mudah menyulut perbedaan, pastilah berpotensi pula meninggalkan banyak celah digital bagi pihak-pihak yang bersebrangan. Hal itu memungkinkan hadirnya peretasan akun media sosial warga untuk disalahgunakan, hingga hadirnya upaya ‘kriminalisasi’ dengan pasal-pasal UU ITE.
Nah hak digital ketiga ini menjadi bagian terpenting dan terberat dipetik, dan harus disadari oleh penggunanya. Dimana konsekuensi berekspresi kini dan sampai kapanpun, tentu memiliki resiko dan batasan yang harus pula dipertanggung jawabkan.
Dan akhirnya, hak digital ketiga ini akan menuntut usaha warga untuk benar-benar memahami essensi UU ITE sebagai rambu berekspresi, memilihkan gaya komunikasi digitalnya dengan bijak.
Dan terpenting lagi adalah kepeduliam warga untuk mampu jua melidungi perangkat digitalnya secara berkala, secara mandiri.
Over the top, sebuah refleksi wujud hak digital warga!
Tidak salah jika ada anggapan, istilah ekspresi warga selalu dikaitkan dengan konteks isu-isu politik saja?
Dan yang selalu menjadi daya ledak negatif atas istilah itu, bagi kehidupan nyata, yakni hadirnya ketidakharmonisan warga yang dipantik oleh tafsiran baik-buruk atas ekspresi/pendapat warga lainnya, yang tersembur dari dunia maya.
Post-truth menjadikan budaya bermedia sosial yang sangat mudah bagi warga untuk melampiaskan ekspresi benci-cinta kita di kanal media sosial, bukan?
Dimana banyak dari kita tidak lagi menghiraukan benar dan salah sebuah informasi, namun hanya berdasar naluri suka atau tidak suka terhadap informasi tadi.
Jika dicermati mengapa semua itu mudah terjadi, karena melimpahnya pilihan informasi yang disemburkan oleh media warga untuk memanfaatkan ruang demokrasi.
Nah kehadiran media warga, yang aktif menyelipkannya konten di media sosial, berupa data, informasi atau multimedia terkadang belum terverifikasi kebenarannya, terutama berkenaan dengan data diri pemiliki konten tadi.
Lantas, sampai di tiitik ini menjadikan sebuah problematika serius atas potensi penyalahgunaan hak digital warga itu sendiri, bukan?
Dan bisa kita katakan, fenomena itulah yang menandakan ketidakhadiran jaminan berekspresi akibat kurangnya tanggungjawab warga berdigitalisasi.
Akibatnya, kita melihat korban yang begitu mudahnya terjerat pasal-pasal yang mengatur ITE, seperti Prita Mulyasari, Muhammad Arsyad, Ervani Handayani, Florence Sihombing, dan juga Fadli Rohim.
Namun catatan positifnya adalah layanan Over The Top (OTT) yang banyak digunakan warga menyampaikan ekspresinya menjadi sebuah refleksi untuk warga belajar berani memanfaatkan dan memahami hak-hak digital warga di atas.
OTT merupakan layanan dengan konten data, informasi dan multimedai yang berjalan melalui jaringan internet dan tidak memiliki kerjasama dengan penyelenggara komunikasi.
Jenis perusahaan ini menggunakan layanan OTT merupakan perusahaan media sosial , yakni Facebook, Twitter, Youtube, Tik-tok Instagram dan lain-lain.
Oleh sebab itu, kehadiran media warga/konten kreator, yang massif menempelkan informasinya di layanan OTT seharusnya mulai mampu membekali dirinya dengan pemahaman mengenai UU Nomor 11 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Meski kerap UU ITE berpotensi menyumbat hak-hak digital warga dengan prsespsi pasal karet.
Nah apa saja pasal-pasal itu!
- Pasal 27 ayat (1), Hak digital mengatur kesusilaan
- Pasal 27 ayat (2), Hak digital mengtur perjudian
- Pasal 27 ayat (3), Hak digital mengatur konten penghinaan dan pencemaran nama baik
- Pasal 27 ayat (4), hak digital mengatur konten pemerasan/pengancaman
- Pasal 28 ayat (1), hak digital mengatur kabar bohong
- Pasal 28 ayat (2), hak digital mengatur kebencian atas dasar SARA
- Pasal 28, hak digital mengatur konten ancaman
Memampukan menuntaskan Hak digital warga,menyajikan legit Demokrasi itu!
Mencerna hal diatas, dan melihat di sekeliling kita, tentu kita bisa meraba seefektif apa hak digital bisa kita manfatkan sepenuhnya.
Mengingat ketiga hak digital itu saling ketergantungan satu dengan lainnya. Misalkan bagaimana kita bisa mendapatkan jaminan berkepresi jika hak akses internet dibatasi?
Nah bagi warga –seperti saya—yang tinggal di Kalimantan, bisa merasakan ketimpangan hak akses itu masih nyata! Meski upaya pemerataan jaringan layanan internet terus diupayakan, baik infratsruktur teresterial dan juga satelit.
Karena bagi warga pelosok daerah di Kalimantan, layanan internet tentu akan memberikan akses ekonomi yang lebih baik, mendorong UMKM untuk naik kelas, dan terpenting mampu memberikan gambaran pembangunan daerah terkini untuk terus diawasi.
Oleh sebab itu untuk untuk mengkselerasi hak digital warga mampu dikerjakan merata, diperlukan tiga kemauan keras setiap warga menuntaskannya hak digitalnya demi tujuan makna kesejahteran.
Pertama, Hak akses internet
Terdapat data terbaru laporan We Are Social, yang menyebut jumlah pengguna internet di Indonesia per Jnauari 2022 tercatat 204.7 juta pengguna.
Artinya sudah hadir kesadaran warga menggunanakn hak akses internet dengan mudahnya kan?
Dan yang menjadi permaaslahan hanya tinggal bagaimana mengatur budjet harian untuk menyediakan akses internet dalam mendukung aktivitas harian kita.
Dimana fasilitas internet satelit juga siap membek-up kurangnya jaringan internet terestial ( tower BTS) akibat kerumitan geografis wilayah, dan hal itu berpotensi membuat keterjangkauan harga layanan menjadi mahal.
Kedua, hak mampu berekspresi
Semua orang bebas berpendapat apa saja, itu kita sepakat.
Namun intinya, kebebasan tentu ada batasnya, dalam konteks mematuhi regulasi yang sudah ditetapkan Pemerintah.
Lantas, dalam konteks itu, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam berekspresi di maya, yakni menjaga hak dan reputasi orang lain dan menjaga kemanan nasional atau ketertiban masyarakat.
Dan terpenting lagi mengenai jenis informasi yang dilarang untuk sebar luaskan, seperti pornografi, penyebaran ujaran kebencian, hasutan, dan advokasi yang memicu diskriminasi.
Ketiga, hak terlindungi dari penyerangan daring
Nah hak digital warga ini, tentu bisa dipenuhi dengan hadirnya edukasi warga secara massif, dan kepedulian yang aktif jua memproteksi perangkat digitalnya masing-masing.
Serta hadirnya sebuah sistem/aturan hukum yang melindungi upaya-upaya penyerangan daring apapun oleh pihak tertentu, atau –bahkan—Pemerintah sendiri.
Nah dari ketiga upaya di atas, akhirnya mampu menjadi sebuah teori mudah kan? Untuk lekas diaplikasikan dalam menghadirkan jaminan bagi warga berekspresi dengan sikap bertanggung jawab di dunia digital.
Yuk gunakan tiga hak digital kita itu, untuk menikmati legit demokrasi, menemukan kesejahteraan yang kita ingini di ruang maya sekarang!