Green Climate Fund (GCF) akhirnya menyetujui Proposal REDD+ Result Based Payment, yakni upaya pengurangan Emisi Karbon aktivitas Deforestasi dan Degradasi Hutan Indonesia. Artinya, ya Indonesia sudah dianggap berhasil dalam upaya memperlambat perubahan iklim saat ini.
Keberhasilan menekan laju deforestasi, meliputi keberhasilan kegiatan rehabilitasi, perlindungan dan pengamanan hutan, akses kelola hutan melalui perhutanan sosial, serta pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Dan upaya lainnya, yakni upaya penerapan pengelolaan hutan produksi lestari melalui SVLK dan lain sebagainya.
Keberhasilan ini, menempatkan Indonesia sebagai negera kelima yang berhasil mengakses program percontohan senilai USD500 juta. Yah, sekali lagi selamat ya!
Nilai keberhasilan tadi diukur dengan melihat keberhasilan Indonesia menurunkan emisi karbon periode 2014-2016, sebesar 20.3 juta ton karbon diokasida ekuivalen (Tco2EQ).
Nah coba kita kalikan dengan harga pasar karbon di dunia saat ini, sekitar Rp 72 ribu per tonnya. Tentu sangat gampang kan, mengetahui hasil panen karbon dari alam kita ya? Hasilnya jika di-dolarin, Indonesia akan menerima sekitar USD 103,8 juta dari GCF.
Dan yang terpenting bagi saya adalah, kabar ini sudah menghembuskan banyak inspirasi. Sembari, kita kini tengah berjuang menghadapi Pandemi ya? Nah Press-rilisnya bisa langsung dilihat di laman Youtube KLHK yang baru diunggah Kamis (27/8) lalu.
Akun Youtube KLHK
Hemm, saya lantas berfikir, pastilah di masa depan, harga karbon akan bisa melompat jauh lagi, menyaingi harga emas yang kini terus melambung jua. Lompatan itu serasa wajar berbanding lurus laju pembangunan negara-negara di dunia yang terus meraja.
Dan sepertinya, ini bisa saja menjadi peluang usaha bagus nih. Dalam konteks ikut jua mengeksploitasi alam, tanpa harus membekaskan nilai degradasi, berupa laju perubahan iklim kini. Bagimana caranya ya?
Iya, sederhana sih, menurut saya dengan memulai bisnis karbon, yang bisa dimulai dari keseharian dan lingkungan kita. Dan ikut bersama memanen hasilnya untuk anak-cucu kita nanti di masa depan! Ah, masih penasaran ya? Nah baca terus saja gih!
Sadarkah jika Pembangunan adalah ancaman nyata percepatan perubahan iklim?
Balai Gakkum Wilayah Kalimantan-KLHK, -domisili saya saat ini- bersama polisi kehutanan Prov Kaltim, menemukan praktik tambang Illegal di kawasan Taman Hutan Raya Suharto, Kabupaten Kukar, Kaltim pada Sabtu (22/8/2020) kemarin.
Kabar terkini ini tentu menjadi hal penting untuk membuktikan, penegakkan perlindungan kawasan hutan di Kaltim oleh Pemerintah itu nyata dilakukan kok. Meski, sudah menjadi rahasia umum, jika Tahura Suharto sejak lama menjadi incaran aktivitas pertambangan dan juga pembalakan hutan, baik legal dan illegal. Namun ya kok baru merebak sekarang ya?
Tetapi di sisi lain yang saya ingin katakan, bahwa adalah suatu fakta yang tak terbantahkan, jika eksploitasi alam -memang- sudah dan sedang terjadi hingga kini. Utamanya ya pasti akan berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam, bahan dasar pemasok energi.
Nah jujur deh, jika salah satu kebutuhan, yakni energi –elektrifikasi– sudah menjadi hal yang pokok masyarakat butuhkan ya saat kan? Dan lekas bisa deh kita menunjuk langsung peranan komoditas batu bara yang –memang- banyak terkandung di alas rimba Banua Etam Kaltim, bagi penciptaan elektrifikasi tadi.
Sedangkan kita tahu, jika pulau Kalimantan adalah bagian dari paru-paru dunia, yang ikut jua berkontribusi dalam menggoal-kan persetujuan Proposal REDD+ GCF itu. Terlebih paru-paru dunia ini, juga menghadirkan kenaekaragaman hayati melimpah, terutama satwa liar nan endemik, dan sangatlah bernilai ekologis tinggi, lebih dari sekedar Rupiah.
Nah, Hutan sepertinya selalu dekat dengan ancaman pembangunan dalam konteks luas ya? Namun siapakah yang sanggup menghentikan agenda Pembangunan itu sih? Baik yang masih berupa rencana ke depan atau yang masih sedang berjalan saat ini?
Karena episode kepemerintahan di belahan dunia mana-pun, selalu saja menceritakan soal rencana Pembangunan berbagai versi. Dan berujung, pada kata-kata bijak jika pembangunan yang tengah dilakukan ya akan memakmurkan kesejahteraan rakyat –apapun caranya-
Dan semakin kemari, episodenya kian seru dengan hadirnya istilah jargon pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Namun ahh, ya mari kita berfikir positif saja-lah!
Nah maksud saya, dari titik inilah bisa menjadikan modal dan semangat kita bersama, dan sekaligus dapat diambil menjadi bahasan menarik dalam meneriakan suara kita soal lingkungan kita.
Karena istilah pembangunan, dalam konteks luas, akan menjadi variable utama dalam percepatan perubahan iklim. Serta –jangan lupa- perilaku kita juga ternyata diam-diam sudah mendukungnya. Ayo coba sadarkah gaes!
Pasokan kebetuhan Energi, kerusakan alam kita, dan perubahan iklim!
Nah, menyikapinya, kita –memang- harus bersuara dong serta juga lekas berbuat! Supaya bisa mendorong Pemerintah lekas jua mewujudkan cita-cita pembangunannya dalam konteks keberlanjutan dan ramah lingkungan yang sering terdengar di kuping kita.
Sudah terlihat kan realita seperti berkurangnya produksi energi fosil dalam memasok energi manusia saat ini? Oleh karenanya, Pemerintah dan dunia harus berkomitmen dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca, dengan mendorong aktivitas manusia mencari alternatif energi baru terbarukan (EBT). Itu salah satunya.
Konkritnya, sudah bisa kita temukan dalam Kebijakan Energi nasional, yang mengamanatkan target bauran EBT pada Tahun 2025 sekitar 23% dan pada tahun 2030 pada kisaran 31%. Target itu terasa logis, jika melihat Potensi Indonesia miliki, seperti sinar matahari, angin, tenaga air, biomassa, biogas sampah kota dan panas bumi, yang bisa menjadi pemantik katalisator mewujudkan target tadi.
Pertanyaan selanjutnya, jika hal itu-pun berhasil diwujudkan, apakah kita bisa jua menahan laju invasi terhadap luasan hutan sebagai paru-paru dunia yang kian menyempit ini? Dan ini tentu akan menjadi pekerjaan rumah kita bersama dalam menyikapinya dengan ragam cara!
Efek rumah kaca, dari manusia untuk alam!
Nah, Pembangunan yang kita rasakan saat ini, tentu saja menyajikan pembangunan dengan rasa moderenitas yang memanja perilaku keseharian kita. Suplai energi listrik salah satunya, -elektrifikasi- yang sudah menggerakkan mesin-mesin produksi pabrik menciptakan produk apa saja, yang cepat siap saji, rapi terbungkus plastik.
Akhirnya, turunan plastik telah menjadi isu hangat global saat ini kan? Plastik menjadi sampah abadi dimana-mana, dan menjadi makanan favorit biota darat-laut-udara. Dan ini baru satu masalah lho, dari hadirnya moderenitas yang disponsori pasokan energi, dan juga perilaku kita.
Aktivitas lainnya, yakni melimpahnya gas karbondioksida yang dihasilkan oleh aktifitas biologis manusia, dan juga keluar dari beragam cerobong knalpot, pabrik hingga kendaraan kesayangan kita. Dan inilah yang membuat proses efek rumah kaca melaju kencang.
Pada tahun 1750, sudah terdapat 281 molekul CO2 pada satu juta molekul udara (281 ppm). Di Januari 2007 tercatat lagi kansentrasi CO2 mencapai 383 ppm. Dan diprediksikan –jika benar- pada tahun 2100, karbondiokasida akan mencapai konsentrasi 540-970 ppm.
Selain CO2, belerang diokasida, nitrogen monoksida, dan nitrogen diokasida yang dihasilkan proses pembakaran fosil bahan energi, membuat gas-gas buangan itu, menjadi katalisator efek rumah kaca, yang memanaskan bumi.
Ada prediksi, dimana efek rumah kaca sudah meningkatkan suhu rata-rata bumi 1-50C lho. Jika di tahun 2030 rerata kenaikan suhu sudah berada pada ambang 1,5 – 4,50 C, karena melimpahnya gas CO2 di atmospher.
Artinya, ya akan banyak gelombang panas yang akan dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer. Hal inilah yang mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi terus meningkat, dan berakibat perubahan iklim
Dan lihatlah, saat ini sudah terasa kok! Es di kutub sudah mulai mencair, dan menimbulkan naiknya permukaan air laut, dan tenggelamnya pulau-pulau kecil.
Dan tentu saja, akan merubah iklim berkepanjangan, dan membuat stok air tawar sebagai energi utama manusia akan pula terancam punah. Dan menjalar pada hancurnya produksi dan ketahanan pangan kita di masa depan.
Suara kita modal kita untuk memperlambat perubahan iklim segera!
Nah oleh sebab itu, bekal suara kita akan menjadi pendobrak dalam merealisasikan komitmen Pemerintah dan dunia. Dan jua ikut bersama menekan laju perubahan iklim tadi kan. Salah satunya bersuara lewat bincang ruang publik KBR, yang mengusung tema Cerita Kita Tentang Perubahan Iklim.
Ada lima orang, yang sudah bersuara ‘lantang’ soal perubahan iklim yang sedang terjadi hingga kini di dalam diskusi tadi. Dan mereka juga mulai bergerak dengan caranya sendiri untuk berbuat hal terkecil mungkin demi bumi ini.
Davina Veronica? Ada yang kenal? Iya, iya kamu benar, seorang model cantik yang kini juga berperan sebagai pegiat Satwa. Dia bersuara, soal kehadiran binatang yang masih belum dianggap belum penting Oleh Pemerintah.
Analoginya menurutnya, yakni binantang sudah menjadi pengungsi di rumahnya sendiri akibat invasi lahan di tempat tinggal mereka dari dulu, imbas Pembangunan apa saja.
Poin itulah salah-satu semangat untuk menjadi pegiat Satwa, yang dia anggap turut andil dalam menjaga kekayaan hutan. Dan lagi menurutnya elemen satwa, merupakan elemen penting dalam proses pelambanan perubahan Iklim kini.
Zul Karnedi, juga sama! Dia mantan pemburu Penyu, dan kini –malah- sudah sadar betul jika lingkungan dan satwa adalah elemen penting masa depan alam. Sehingga pada tahun 2015 lalu, sudah mulai tergerak melestarikan Penyu di Bengkulu. Dan 2016 melakukan upaya pengeraman telur-telur penyu, dan melepas-liarkannya di alam menjaga keseimbangan alam.
Sedangkan ada Bapak Mubariq Ahmad, Direktur yayasan strategi konservasi Indoensia. Dia selalu aktiv mengawal kebijakan lingkungan Pemerintah saat ini. Salah satunya ya, bersuara keras soal ancaman kekeringan dan kelangkaan air bersih yang diakibatkan perubahan iklim yang kian melaju saat ini.
Mbak Widyanti Wulandari, ketua umum pusat Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN), juga tak ketinggalan besruara. Seakan tak pernah padam melemparkan isu-isu lingkungan dalam tulisan-tulisannya dan menularkannya pada komunitas Bloggernya.
Dia malah mengkliam, jika para Blogger IIDN tidak hanya mampu menulis isu lingkungan saja, tapi turut jua mempraktikannya dalam keseharian sehari-hari.
Mbak siti Hairul salah satu contohnya. Blogger yang sudah menuliskan pengalaman pribadinya berhasil membiasakan menggunakan menstrual-cup, langsung mencerahkan manfaatnya bagi para wanita, untuk meninggalkan pembalut wanita.
Hal utama yang menjadi latar belakang menularkan pengalamannya lewat tulisan ketika menemui fakta membanjirnya sampah pembalut wanita se-dunia. Dan menjadi masalah serius pada lingkungan jua.
Wah ramai sekali ya? Terus cerita kita apa, soal perubahan iklim ini ya? Dan apa yang sudah kita perbuat sih? Jika belum ada ide, ya ikut saya saja ya, berbisnis karbon! Siapa tahu menjadi bekal dan menjadi nyanyian merdu kita terhadap perubahan iklim kini.
Sektor Pertanian: industri karbon, industri masa depan Indonesia!
Nah, Pandemi setidaknya sudah menularkan banyak permasalahan yang dijadikan pelajaran ya? Baik soal kesehatan dan juga sisi lain manusia, yang juga berhasil menyandra aktivitas ekonomi dunia, bahkan.
Namun, di kala ancaman resesi saat ini, Pandemi –malah- banyak menulari hal positif bagi sektor pertanian Indonesia. Hal itu bisa kita lihat, dari rilis BPS yang menunjukkan kenaikan positif pada Januari-Maret 2020. Dimana mencatatkan hasil ekspor produk pertanian naik sebesar 16.23 %.
Artinya, ya beragam! Salah satunya adalah, produk segar-alami yakni produk pertanian menjadi komoditas penting yang dunia saat ini sedang cari. Karena produk siap-saji-plastikan yang disajikan oleh pabrikan masih terhenti –sementara- oleh pandemi.
Hal postifnya lagi adalah, gas buangan yang menjadi katalisator efek rumah kaca menjadi berkurang akibat berhentinya deru mesin pabrik untuk sementara ini. Dan bisa saja membuat lapisan ozon hadir kembali. Dan mengurangi perlambanan perubahan iklim di bumi menjadi melamban.
Nah dari titik ini, kita akan mulai sadar jika kita –memang- butuh alam untuk menyediakan nyawa baru buat manusia kan?
Dan korelasinya menurut saya adalah, ikut jua menjaga keseimbangan alam soal perubahan iklim ini, dan meyakininya bisa menjadi senjata ampuh dalam mempertahankan juga pertahanan negara.
Dimana sejalan dengan yang pernah Bapak Presiden Jokowi katakan jika ketahanan pangan adalah salah satu elemen pertahanan negara kita. Artinya sektor pertanian akan menjadi sektor penting dalam pembangunan. Buktinya, dengan hadirnya mimpi besar Pemerintah RI membangun lumbung pangan dari lahan tidur, di Kalteng segera!
Dan dari sinilah, ide bisnis karbon, logis bisa segera kita lakukan! Dengan cara mencipta banyak sekali lumbung pangan –pertanian dalam konteks luas- yang berfungsi sebagai pembasmi gas efek rumah kaca CO2 yang melimpah di atmosper yang dihasilkan dari deru mesin modern..
Selanjutnya, penurunan emisi karbon, dan bisnis karbon berhasil dengan menukarkannya kembali ke dalam bentuk dana Green Climate Fund (GCF) REDD+ mendatang. Dan bisa digunakan sebagai dana pembangunan lingkungan selanjutnya.
Dalam konteks ini, kita semua pasti bisa melakukannya kok. Terutama dalam menyambut dan melatih seberapa efektive sih kemampuan bertahan hidup -negara- kita di masa Pandemi kini, dan menyambut Pandemi kembali di masa yang akan datang, bahkan!
Saatnya katakan i-love-u buat bumi, dengan memulai bisnis besar karbon sekarang!
Nah jika kita sudah merasa kaya dengan segudang teori dan sudah bersuara lantang! Waktunya yuk, menyeimbangkannya dalam kehidupan nyata mencinta lingkungan, semudah mengatakan i-love-u kepada orang yang kita cintai.
Ah saya jadi membayangkan jika unit kecil rumah tangga sudah mencipta, lumbung pangan di pekarangan rumahnya sendiri, bisnis karbon ini tentu akan -pasti- berhasil lagi di periode penilaian mendatang? Hiks, inilah yang saya maksudkan dari berbisnis karbon ini, dengan melakukan beragam aktivitas menanam pohon dan sayuran hidroponik di mana saja!
Sudah tiga tahunan ini, saya mencoba memanfaatkan pekarangan rumah dengan menanam pohon buah serta sayur mayur, dan menumpang-sarikannya dengan budidaya nila dan lele. Hasilnya ya lumayan untuk mencukupi ketahanan pangan keluarga, meskipun itu bukan niatan awal ber-hobbi ini. Dan hanya mencoba having-fun saja.
Namun semakin kemari, ketika Pandemi merebak, pekarangan rumah saya yang -hanya- seluas setengah hektare, telah mampu memberikan dampak lain. Terutama ya sisi ekonomi dan juga kesehatan . Dimana saya berhasil memasok energi yang dibutuhkan oleh tubuh seperti lauk-pauk -minus beras– secara mandiri.
Dan manfaat lainnya, sudah menjalar pada pemenuhan kebutuhan pangan di ring rumah –tetangga- sekitar. Selama Pandemi berlangsung, dimana warga berhasil menahan diri di rumah saja, hasil bercocok tanam di area komplek perumahan saya ini, sudah dijadikan aduan emak-emak berbelanja kebutuhan dapurnya iya seperti pasar.
Meskipun awalnya tidak pernah bertujuan komersil sih titik. Dan lama-kelamaan hasil transaksi itu -malah- bisa dikapitalisasikan sendiri dengan mudahnya.
Yakni cara melakukan pengemasan panen selada, kangkung, lombok, tomat, sawi, pepaya serta ikan nila dengan baik dan layak. Dan hasil kemasan apik tadi, sudah berhasil meyakinkan produk rumahan -bukan pabrikan- saya layak dikonsumsi dan berujung bernilai komersil lagi.
Nah hal lainnya yang membuat saya merasa puas adalah penularan hobi saya bercocok tanam ini, bisa menjalar pada tetangga di sekitar rumah saya. Dimana banyak orang yang ingin belajar dan meminta/membeli bibit sayur-mayur dan benih ikan ke saya -malah-
Tentu hal ini menjadi provakasi ampuh ya, dalam hal membangkitkan semangat untuk menikmati produk alamiah lagi kan?
Dan semuanya tersadar untuk kembali mengawali hidup sehat. Dengan menikmati sayur-mayur dan protein daging ikan sebagai sumber nutrisi, yang sekaligus -bisa- meningkatkan imunitas tubuh dari penularan Covid-19?
Keuntungan ganda bisnis karbon!
Nah memanfaatkan pekarangan dengan menanam pohon buah dan sayuran Hidroponik bagi saya adalah perbuatan nyata saya dalam memperlamban perubahan iklim ini lho.
Simple tapii… sudah terbukti memberikan dampak ganda yang saya sudah ceritakan di atas. Ya manfaat ekonomi, Kesehatan dan juga lingkungan.
Itu baru saya yang menggarapnya lho! Nah jika akan ada berjuta-juta rumah tangga dalam area perumahan dalam kota besar yang jua melakukan hal yang sama, memnafaatkan pekarangan rumahnya untuk hal yang saya lakukan.
Tentu saja coverage zona hijau pekarangan rumah yang berisi tumbuhan tadi -berharap- bakal mampu menyerap gas karbondioksida dengan aktif juga kan? Terlebih di tambah keasrian hutan kita yang masih terjaga.
Dan selanjutnya, berharap lagi, bisa membantu menurunkan emisi karbon secara bertahap dalam lingkup area lingkungan kita dulu. Dan selanjutnya, mengumpulkan nilai komulatif, yakni nilai pengurangan emisi karbon totalnya, dan manfaat efeknya tadi bisa kita jual kembali ke GCF. Meski lewat tangan negara sih!
Artinya, dengan upaya konversi tadi yang menghasilkan dana yang didapatkan. Negara akan bisa banyak berbuat banyak membantu untuk menambal kerusakan alam akibat aktivitas pembangunan yang degradatif yang sulit untuk dihentikan.
Sehingga ancaman hancurnya keseimbangan alam bisa sedikit diredakan atau malah terus diperbaiki lagi. Nah, dari aktivitas inipula, saya merasakan tiga hal penting, apa saja itu?
Pertama, saya sudah merasa berhasil juga menumbuhkan rasa sayang saya dengan alam. Yang ditempa dengan keseharian saya merawat tanaman, dimulai dari memberikan air dan pupuk pada tanaman kita setiap waktu, selama Pandemi ini.
Kedua, ketika tanaman tadi sudah layak dikonsumsi, akan jelas dapat memberikan manfaat nyata, berupa energi alam nan sehat yang padat nutrisi masuk ke tubuh kita.
Ketiga, ah, saya jadi meyakini, dari banyak perilaku mencintai lingkungan yang beragam, cara ini bisa menjadikan bukti nyata saya, untuk benar mencintai alam. Iya i love you kok!
Dan akhirnya, tempaan mental dari rasa mencintai dan memiliki tanaman tadi, akan memudahkan kita bisa memahami dan meniru banyak perilaku baik selanjutnya, yang ramah pada alam.
Seperti membuang sampah tidak sembarangan lagi, lalu bisa arif dan ikhlas memaksimalkan transportasi umum dalam bepergian kemana saja. Hingga mengurangi kosumsi makanan siap saji yang terbungkus plastik.
Poinnya, tiga hal ini. tentu telah memiliki visi yang sama dalam menekan melimpahnya gas karbondioksida dan membanjirnya limbah plastik di mana saja. Dan itu saya anggap merupakan usaha kecil nan nyata saya untuk menjaga lingkungan ini ala-ala saya.
Dokumentasi pribadi Dokuemntasi pribadi
Lha, terus kamu bagaimana? Dan apa yang sudah kamu diperbuat ya? Hanya diam dan menyerahkan pada Pemerintah saja? Dan sesekali hanya menyinyir plus mengkritik Pemerintah atas hal negetif atas lingkungan saat ini?
Ah syukurlah, jika jawabannya juga sudah suka menanam pohon di pekarangan rumah sama dengan saya. Ya sama deh kita ya. Berarti kita sama-sama saling mencita dong ya -aih-
Iyalah maksud saya, kita sudah sama-sama benar-benar mencintai alam ini. Toss dulu deh kita, kalau gitu!
Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog “Perubahan Iklim” yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini
Daftar bacaaan
- https://www.youtube.com/watch?v=5emK0X5mb-8
- https://katadata.co.id/desysetyowati/berita/5f01c1ed71852/norwegia-bayar-rp-812-86-miliar-ke-ri-karena-turunkan-emisi-karbon
- https://kaltim.tribunnews.com/amp/2020/08/24/terbongkar-kasus-tambang-batu-bara-ilegal-di-bukit-soeharto-gakkum-klhk-tangkap-2-orang?
- https://id.wikipedia.org/wiki/Efek_rumah_kaca#:~:text=Efek%20rumah%20kaca%2C%20yang%20pertama,oleh%20komposisi%20dan%20keadaan%20atmosfernya.
- https://id.wikipedia.org/wiki/Gas_rumah_kaca
- https://katadata.co.id/jamalianuri/infografik/5f436ec2e9248/menuju-transisi-energi-di-sektor-kelistrikan?
- https://mediaindonesia.com/read/detail/304329-di-tengah-pandemi-covid-19-ekspor-pertanian-terus-tumbuh-positif