Hampir se-jam-an aku terjebak di jalanan ibukota Jakarta, dari arah Bandara Cengkareng menuju Tebet, Kamis, (22/10) lalu.
Sebagai orang yang berdomisili di luar DKI Jakarta, kondisi ini bak sebuah pembuktian, atas sajian berita Teve yang pernah kulihat, yang menyoroti kompleksivitas permasalahan Ibu Kota Jakarta. Yes salah satunya ya masalah kemacetan.
Pertanyaan dafault, yang nyata-nyata sulit terjawab dalam benakku adalah? Mengapa warga Ibu Kota tak memaksimalkan transportasi publik, macam Trans Jakarta, LRT dan MRT dengan kelaikan pelayanan terbaiknya itu?
Duh, pertanyaan ini, tentu akan mudah menyindir pada diriku sendiri. Mengapa aku jua masih saja, memilih duduk manis di kendaraan jemputan dari Bandara, yang jua akan mempersempit ruang jalanan Jakarta?
Tapi, aku tentu memiliki segudang alibi menjawabnya? Salah satunya adalah faktor fleksibilitas, dimana kendaraan pribadi akan mampu moveable, yang dapat digunakan kemana saja, dan kapan saja.
Terutama lagi, hadirnya ‘keterjangkaun’ harga kendaraan, yang mudah dipantik atas ketersedian aliran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) tuk mengoperasikannya. Nah, apakah alibi kita sama?
Namun aku, dan juga warga di Jakarta, pasti paham 100%, jika dampak kemacetan Jakarta mudah menjalarkan persoalan pada dimensi-dimensi kehidupan sosial, ekonomi serta politik warga Ibu Kota? Terutama efektivitas subsidi BBM, yang mudah polutif, mencemari udara Jakarta.
Penelitian UNEP, menyebut jika 6.5 juta orang meningal setiap tahun, akibat paparan kualitas udara yang buruk dari emisi kendaraan. Karena, kendaraan akan mudah menyemburkan gas beracun, macam Nitrogen Oksida, Karbon Monoksida, Sulfur dioksida, hingga partikulat lainnya.
Mensesapi sisi itu, kita akan menemui sebuah istilah ‘keadilan ekologis’ yang memang harus juga sama-sama diperjuangkan, bukan?
Lantas, dimana sih posisi Pemerintah saat ini?
Dalam konteks besar itu, Pemerintah sudah berupaya menegakkan keadilan ekologis itu. Salah satunya Pemerintah sudah menghadirkan jenis BBM khusus penugasan (JBKP), jenis Pertalite.
Kebijakan itu, inginnya lebih mengefisiensikan nilai subsidi energi yang sangat besar, dan menyasarkan subsidi BBM itu, pada kelompok masyarakat yang ‘tidak mampu’
Nah, menarik istilah “sasaran subsidi’, pastilah menyeburkan ragam interpretasi? Terlebih ruang Demokrasi sudah memanjakan kita, untuk lebih jauh berinterpretasi lagi mengenai siapakah sebenarnya yang layak menjadi sasaran subsidi BBM itu kan?
Dan wajar jika ruang Demokrasi akan selalu berpotensi –minimal– menunjuk diri kita sendiri, sebagai sasaran itu, yang mengatas-namakan jargon menghadirkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, dalam konteks-konteks politis.
Duh istilah ‘tepat sasaran’ akan menjadi benang kusut yang lamban terurai, oleh banyak kepentingan ya?
Nah, tak salah jika DKI Jakarta juga diharapkan mampu menjadi sebuah Role Model, dalam konteks memaksimalkan kendali BBM bersubsidi tepat sasaran itu, lewat massifnya modernisasi Pelayanan transportasi umum yang sudah berjalan di sana?
Namun, patutkah kita meyakini hal itu sih, dimana role-model itu akan juga mampu menular ke banyak daerah di Indonesia?
Mari berdiskusi bagaimana kendali BBM Subsidi di Jakarta akan mampu diraih
Poin-poin dalam diskusi publik Radio KBR, Selasa (8/11) lalu, yang memetik tema Pengendalian BBM Bersubsidi yang tepat sasaran di wilayah DKI Jakarta, bisa menjadi perenungan bersama, menyikapi sebuah keyakinan atas konteks penegakkan keadilan ekologis di atas?
Dan berharap poin-poin diskusi itu berhasil menjawab dua hal besar, yang terpendam lama dalam benakku dan mungkin di benakkmu jua. Apa saja itu?
- Apakah benar sasaran BBM Bersubsidi itu layak diberikan ke kita ya?
- Dan apakah efektif, untuk menegakkan keadilan ekologis itu, lewat upaya memaksimalkan infratruktur layanan transportasi publik yang harus laik hadir di kehidupan kita?
Nah, poin-poin dalam diskusi publik yang diinisiasi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dengan para stakeholder Pemerintah pusat dan Pemerintah DKI Jakarta, seharusnya memampukan kita untuk memetik interpretasi terbaik, dalam konteks besar tema tadi?
Yuk mari, baca terus ya hingga habis!
Jakarta sebuah Role Model, kendalikan BBM Bersubsidi, via layanan Transportasi publik
Tak dipungkiri, kebijakan kenaikan harga BBM, sudah berhasil menjalarkan efek domino dalam kehidupan masyarakat?
Sektor transportasi menjadi pemantik permasalahan ekonomi baru, yakni berupa hadirnya kenaikan harga barang dan jasa.
Kehadiran JBKP jenis Petalite RON 90 pada September 2022 lalu, yang menyelipkan subsidi besar Pemerintah bak madu yang berpotensi ‘dikapitalisasikan’ kembali oleh banyak oknum?
Oleh sebab itu, Tulus Abadi, ketua YLKI pusat yang menjadi inisiator diskusi Publik KBR kali ini, terus menggemakan pentingnya pengguna kendaraan, untuk mampu bermigrasi menggunakan BBM non-subsidi, yang ramah lingkungan, setara –minimal– jenis BBM Pertamax.
“Jika Jakarta ingin menjadi kota yang layak, dihuni, ditinggali harus menggunakan bahan bakar yang berkualitas, ramah lingkungan dan itu akan adil dalam konteks ekologis.”
— Tulus Abadi, Ketua YLKI
Karena, menurutnya dengan upaya migrasi itu, kuota JBKP akan memberikan rasa keadilan bagi sasaran tembak BBM bersubsidi itu, kian nyata.
Dan hal terpenting lainnya, adalah permasalahan polusi udara Jakarta harusnya menjadi sebuah perhatian warga, untuk melecutkan kesadaran.
Jika menjaga lingkungan udara menjadi hal yang sangat bernilai pada kesehatan warga Ibu Kota Jakarta sendiri.
Fenomena tersebut mudah saja dirasakan? Dengan masih tingginya presentasi sasaraan JBKP yang dinikmati warga Jakarta yang memiliki kendaraan roda 4, dimana notabene golongan itu adalah warga mampu.
Tulus juga mengungkit kembali, sebuah kesadaran warga Jakarta untuk bersama meneggakkan keadilan ekologis, yang menjadi tuntutan serius di masa kini, dan masa depan nanti.
Nah, apa saja tantangan yang harus diperjuangkan itu?
1. Tantangan populasi kendaraan di Jakarta,yang terus melimpah
Perwakilan Dirlantas Polda Metro Jaya, Kompol Panji, yang hadir dalam sesi diskusi publik KBR, menyebutkan jika jumlah kendaraan terkini Per-Okboter 2022, sudah mencapai 12.965.598 unit. Data itu ingin mengurai, jika terdapat tren populasi kendaraan Di Jakarta yang terus melesat dari tahun ke tahun. Terutama jenis kendaraan sepeda motor yang sudah tercatat mencapai 9 jutaan unit.
Nah, menurutnya, realitas itu tentu mudah menjadikan sumber kemacetan utama kan? Dan fakta itu sudah memberikan dampak serius, pada konteks timpangnya keadilan ekologis, dan memperumit kendali penyaluran JBKP jua.
Kompol Panji, menambahkan jika memang perlu, hadirnya sebuah sistem pengaturan pada operasional kendaraan penumpang/angkutan umum, bisa dijadikan acuan sasaran penerima JBKP.
Karena kini, massifnya kendaraan transportasi online sudah berhasil menambah peluang kemacetan di jalanan Ibukota.
Cara terbaik menurutnya, apakah memungkinkan transportasi online juga melekatkan ikon plat kuning, yang menjadi simbol sebuah angkutan publik resmi? Agar sasaran JBKP juga menjadi tepat, dan turut meneggakkan keadilan ekologis di Jakarta?
2. Tantangan Pelonggaran subsidi BBM, berpotensi migrasikan BBM ramah lingkungan?
Candu pemilik kendaraan pribadi untuk mendapatkann jatah JBKP menjadi kian masif atas dampak Pelonggaran subsidi BBM? Dan menghasilkan polusi yang lebih buruk lagi?
Namun, pihak KLHK malah mencatat di berbagi titik wilayah Jakarta, memperlihtakan parameter kualitas udara –ISPU- di Jakarta berangsur membaik.
“Sejak September , sejak kenaikan subsidi, selama 65 hari hingga kini, kecenderungan kualitas udara (Jakarta) membaik.”
—Lucmi Purwandari, Direktru Pencemaran Udara KLHK
Fakta itu, bisalah menjadi cermin, atas buah kesadaran warga Jakarta untuk mau perlahan bermigraasi ke BBM non-subsidi yang lebih ramah lingkungan? Atau jua massifnya warga Jakarta menggunakan transportasi umum kala berutinitas di jam kerja?
Namun, Lucmi, mengatakan jika kondisi positif yang terjadi kini, bisa terus dipertahankan dan ditingkatkan lewat kebijakan pemerintah yang lebih tegas.
Diantaranya lewat aplikasi teknologi pada mesin kendaraannya. Dan juga, pembebanan pajak tambahan bagi pengguna kendaraan yang kendaraannya tidak memenuhi standart emisi kendaraan.
3. Tantangan menjadikan Transportasi umum sebagai kunci kendali BBM bersubsidi tepat sasaran di Jakarta?
Nah, sudah menjadi lumrah jua, jika Jakarta terus mempermanis wajah kota dengan pembangunan infrastruktur layanan tarnsportasi publiknya, bukan?
Lihatlah, setelah kehadiran sarana bus Trans Jakarta, kini juga hadir pilihan moda transportasi baru, sejenis LRT dan MRT.
Namun apakah keberadaan transportasi massal yang modern itu, efektif mampu memberikan keadilan ekologis bagi Jakarta? Hal itu pasti memerlukan kajian, dari hasil penelitian lebih lanjut jua.
“Begitu transportasi Publik kita deliver dengan baik, memenuhi standar pelayanan minimum………. Maka tentu ekspektasi masyarakat untuk mendapatkan layanan angkutan umum terbaik itu bisa dipenuhi….. Maka yang tadinya menggunakan kendaraan pribadi itu, mereka akan beralih ke layanan angkutan umum.”
— Syafrin Lipoto, Kadis Perhubungan DKI Jakarta.
Syafrin Lipoto, Kadis Perhubungan Jakarta, menyatakan jika modernisasi transportasi massal, diyakininya akan mampu berjalan selaras dengan kebijakan Pemerintah pusat, untuk ikut mengendalikan subsidi BBM tepat sasaran.
Dimana dengan massifnya warga yang memiilih moda transportasi massal, akan ikut juga mengurai beban kuota JBKP di Jakarta.
Menurut Syafrin, dalam prakteknya, DKI Jakarta sudah berhasil mengintegrasikan layanan transportasi umum dengan standar minimum terbaiknya.
Terutama berbagai upaya integrasi atas rute perjalanan, tarif jasa pelayanannya, kemudahan sistem pembayaran, informasi perjalanan yang detail, sarana dan prasarana yang menjadikan andalan masyarakat untuk lekas memaksimalkannya.
Sebagai perbandingan di tahun 2016-2017, penumpang transportasi publik Jakarta, hanya berjumlah 350 ribu/hari. Namun setelahnya, mampu menampung satu jutaan penumpang per-harinya.
Dan, menurutnya yang menjadikan catatan pentingnya adalah integrasi moda transportasi publik di Jakarta sudah memanja kemudahan pembayaran tarif trnsportasi umum oleh penumpang, dan berhasil menjadikan sarana untuk mengendalikan subsidi tepat sasaran. Apa buktinya?
Pertama, sebagai contoh, –misalnya– sistem account Based Ticketing yang diterapkan Pemprov DKI Jakarta yang bekerjasama dengan Disdukcapil Jakarta, akan mudah memelihara data penumpang dengan aman, yang menjauhkan dari kegagalan sistem, meng-update saldo terakhir penumpang dengan alasan apapun.
Kedua, selain itu sistem ini akan mudah melakukan profiling status ekonomi setiap penumpang yang terdata oleh Didukcapil, untuk mensingkronkan kelayakan program subsidi bantuan Pemerintah dengan tepat, lewat tarif jasa-jasa angkutan transportasi publik yang lebih terjangkau bagi mereka.
Lantas, sebenarnya BBM Bersubsidi milik siapa, apakah kita berhak menyicipnya?
Jika kita intip, dalam APBN 2022, Pemerintah pusat sudah mengalokasikan subsidi energi sebesar RP 134.03 triliun, dari total subsidi Rp 206.96 triliun bersama subsidi non-energi.
Subsidi energi itu tentu ingin menyasar bagi penerima yang layak dibantu? Namun hingga kini, objek sasaran penerima subsidi yang diatur dalam Perpres No 191 tahun 2014 masih belum jelas ditentukan?
Dimana kni penentuannya hanya dijaring melalui sistem yang mendasarkan speks kendaraan yang dimiliki saja. Lantas, apakah memang perlu ya dilakukan revisi Perpres itu sih?
Namun, Tri Yuswidjajanto, seorang Akedemisi ITB Bandung, yang jua ikut dalam diskusi itu, memberikan perspektif lain, yang mengulas dan membandingkan hal teknis menggunakan JBT subsidi ber-RON 90, dengan non-subsidi RON 92.
Dalam penelitiannya, pemakaian BBM RON 90 VS 92, dalam jarak tempuh rata-rata kendaraan 6000 km/tahun, pemakaian RON 90 hanya berhasil berhemat sekitar Rp 1000-an/hari. Namun jika dikonversi atas dampak kerugian polusi udara yang dihasilkan kendaraan tentu tentu akan jauh merugi.
Terlebih, jika mengulas hadirnya keberhasilan pengguna kendaraan bermigrasi ke BBM non-subsidi, pasti akan memberikan kontribusi yang lebih bermanfaat lagi, lewat pembiayaan pembangunan yang disisihkan dari subsidi energi.
Nah, menurutku, hasil penelitian itu, harusnya memudahkan warga memunculkan kesadarannya, untuk mmapu memposisikan sendiri kelayakan mereka sebagai penerima subsidi BBM, lewat JBKP itu bukan?
Haruskah ada kebijakan tegas, untuk meyakinkan BBM bersubsidi tepat sasaran di Jakarta?
Jujur saja, selama aku di Jakarta, tentu hal yang paling melekat selain kemacetan bermobilitas dengan kendaraan pribadi, adalah kelancaran bermobilitas menggunakan transportasi publiknya itu?
Coba rasakan saja, kala mampir ke stasiun MRT atau LRT, koridor Trans Jakarta, suasananya ya memang bersih dan petugas sigap melayani penumpangnya. Suasana itu tentu akan menyempurnakan sistem integrasi layanan transportasi publik yang sudah baik.
Nah, merasakan suasana itu, sembari menelaah poin diskusi di atas dalam-dalam, tentu sangat mudah bagi kita untuk menemukan sasaran yang tepat, penerima subsidi BBM, JBKP itukan?
Dan sosok penerima yang layak itu menurutku adalah, penyelengara moda transportasi publik, yang mampu memanjakan penumpangnya lewat sistem pelayanan terbaik, dan terbukti menjadi pilihan warga. Selanjutnya, sasaran kedua adalah, para penumpangnya yang gemar memanfaatkan transportasi publik mendukung rutinitasnya. Dan reward yang mereka harus rasakan adalah, kenikmatan tarif jasa transportasi yang terjangkau dibandingkan layanan kendaraan pribadi.
Dan, menurutku, memang masih harus ada kebijakan tegas bagi pengguna kendaraan, untuk lebih meyakinkan sasaran BBM bersubsidi itu kian jelas, dan terus mampu memberikan nyata keadilan ekologis di Jakarta. Apa saja itu?
1. Apakah mungkin, Pemerintah menambahkan JBKP jenis Dex atau Dex Lite pengganti solar, hanya untuk Transportasi publik yang sudah terverifikasi standart Euro 4 & 5
Transisi energi menuju energi bersih memang masih lama terwujud di Indonesia kan? Oleh sebab itu, moda transportasi publik yang sudah ada di Jakarta, hendaknya harus terus diup-grade by teknologi. Terutama armada Trans Jakarta yang masih menggunakan BBM solar/Biosolar, agar mampu migrasi ke BBM Dex, Dex Lite, mengikuti aturan –minimal Euro 4 & 5.
Meski proyeksi Bus Trans Jakarta di masa depan, akan fokus kepada teknologi listrik.
Secara definisi, standar Euro adalah standar negara eropa (EU) yang bertujuan menjaga kualitas udara di Eropa.
Semakin tinggi standar Euro yang diberlakukan, maka semakin kecil batasan kandungan gas karbon dioksida (CO2), Nitrogen oksida (Nox), kabron monoksida (CO), volatil hidrokarbon (HC), serta partikel lain, yang terbukti berdampak pada kesehatan dan lingkungan manusia.
Dan sudah lumrah jika penetapan standart emisi kendaraan di sebuah negara, harus mengetahui secara persis dua faktor yang berkorelasi, yakni teknologi mesinnya dan ketersediaan kualitas BBM-nya.
Artinya ya percuma, jika standarisasi Euro 5 segera ditetapkan, namun ketersediaan kulitas BBM belum terjangkau, atau terlalu mahal didapatkan.
Nah, mungkin itulah sebabnya, Indonesia baru melangkah mengaplikasi standar emisi gas buang Euro 4 bagi kendaraan, per April 2022 lalu, untuk menggantikan standar Euro 2.
Atas dasar itu, apakah jenis Dex atau Dex Lite juga bisa masuk dalam skema JBKP? Guna memberikan rangsangan pada sektor transportasi saja, dan agar mampu berkontribusi untuk memperkuat keadilan ekologis itu? Ya dengan syarat sektor transportasi itu mau dan mampu bertransformasi meng-upgrade armadanya lebih layak.
2. Sasaran penerima BBM Bersubsidi bagi pemilik kendaraan pribadi harus memenuhi uji emisi kendaraan, serta patuh membayar pajak kendaraan
Dalam perjalanannya penyaluran JBKP tentu akan berlangsung dinamis, untuk membagi rata dan adil kuota JBKP kepada pengguna kendaraan di Jakarta.
Dengan realitas kuota JBKP yang pasti terbatas itu, tentu harus dilakukan ketegasan dalam menentukan sasaran penerima subsidi dengan tepat bagi pengguna kendaraan pribadi. Nah, Revisi Perpres 191/2014 bisa saja menjadi jalan tengah, meski konsekuensi politik sangat terbuka.
Namun menurutku, lewat poin diskusi di atas, harusnya Pemerintah DKI Jakarta juga memiliki –minimal– dua ketegasan di bawah ini, untuk meyeleksi lagi sasaran penerima subsidi BBM itu. Apa saja itu?
Hadirnya ketegasan itu bisa dimulai dari uji emisi kendaraan secara massif, untuk melayakkan penerima subsidi BBM JBKP yang telah terverifikasi.
Hadirnya kepatuhan pemilik kendaraan atas pajak kendaraan, yang juga harus menjadi dasar dalam pemberian subsidi BBM JBKP, untuk melengkapi parameter status ketidakmampuan yang sudah terverifikasi lewat data Disdukcapil Jakarta, dan dapat diakses via aplikasi.
Nah dengan kedua cara itu, saya yakin, Jakarta bisa benar-benar menjadi Role Model memperkuat kendali penyaluran subsidi BBM tepat sasaran.