Filosofi kehidupan layaknya dua sisi mata uang. Salah satunya yakni kesejahateraan versus kemiskinan, ada yang hidupnya kaya dan ada si miskin.
Kedua sisi yang berlawanan itu tadi dapat diartikan dalam banyak konteks-konteks.
Konteks-agama misalnya, bisa jadi rujukan yang menyejukkan, dimana sisi perbedaan tadi adalah sebuah takdir yang harus dilalui dan sifatnya sejajar derajatnya, manusia bisa saja luput dalam salah satunya, ya bisa hidup sebagai si kaya atau miskin. Syukuri saja, ademkan!
Konteks-ekonomi, kedua sisi tadi bisa memberikan tantangan, ber-upaya agar dominasi angka kesejahteraan harusnya lebih dominan terhadap kemiskinan. Derajat kesejahteraan dipandang lebih baik daripada kemiskinan, meskipun ya angka kemiskinan mustahil untuk dihapuskan sampai kapanpun dan dimanapun.
Lalu, ada juga konteks-politik, dalam kacamata ini, kemiskinan/kesejahteraan bisa menjadi sajian yang lebih seksi lagi, dimana realita dan angka-angka kemiskinan dapat dikapitalisasi berbagai wujud untuk mencapai tujuan politik yakni kekuasaan.
Nah, terlebih Indonesia yang notabene adalah negara demokrasi yang tentu memanjakan kebebasan berpendapat, klaim-klaim terhadap objek kemiskinan selalu ramai bersaut-sautan dan menjadi bancakan dalam setiap pesta demokrasi, Pilkada atau Pilpres sekaligus.
Konteks-konteks tadi bisa saja menjadi faktor pendukung atau malah penghambat dalam pengentasan Kemiskinan itu sendiri, selain hal teknis pelaksanaan program Bantuan sosial itu sendiri.
Namun, hal yang pasti kita sepakati, adalah tidak ada satu-pun dari kita mau hidup dan dianggap sebagai golongan miskin-kan?
Namun tren-nya yang bisa kita rasakan, ada saja oknum orang-orang mampu dan kaya –yang berpura-pura —untuk menjadi golongan miskin, dalam meraih kesempatan dalam kesempitan dari segala kebijakan populis di setiap pemerintahan yang mengusung program pengentesan kemiskinan.
Ini yang menurut saya menjadi hal yang serius pengentasan kemiskinan di Republik ini!
Ya memang siapa sih yang tak suka murah dan gratisan? Semua juga mau! Fenomena tadi bisa terekam jelas dari banyaknya kasus penyelewengan dana bantuan sosial, dari elite hingga akar-rumputyang terjerat kasus korupsi. Nah jika sepaham tentang ini, silahkan saja teruskan saja membacanya!
Lalu, Siapakah orang miskin itu, apakah saya atau kamu?
Jika merujuk definisi penduduk miskin, yakni penduduk dengan katagori pengeluaran Per-kapitanya perbulan di bawah garis kemiskinan. Sedangkan angka garis kemiskinan sendiri di tahun 2018 lalu Rp 401.220 Perkapita perbulan.
Jika dilihat data Per-maret 2018, jumlah penduduk miskin Indonesia menurut BPS mencapai 25.95 juta. Jumlah itu berkurang 633.2 ribu jiwa dari kondisi september 2017 sebesar 26.58 juta orang. Jika di-breakdown lagi angka itu, jumlah penduduk miskin di wilayah perkotaan sebanyak 10.14 juta, dan lebih banyak di desa yang tercatat 15.81 juta penduduk miskin.
Bantuan sosial, berupa Program Keluarga Harapan (PKH) misalnya, adalah salah satu alas pemerintah untuk memerangi angka kemiskinan. Lihat saja, dari datanya, kita bisa lihat sangat membantu dalam menurunkan penduduk miskin.
Klaimnya adalah, Program Keluarga Harapan (PKH) terbukti mampu mengubah 400ribu keluarga sangat miskin menjadi mandiri yang terjadi Sejak tahun 2007 hingga desember 2015.
Mantan Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa, pernah mengatakan PKH mampu memberikan peningkatan keluarga miskin yang dapat dilihat dari konsumsi keluarga PKH, dengan rata-rata 14%, dari 79% dari garis kemiskinan ke 90% garis kemiskinan.
Lalu di sektor pendidikan, terjadi peningkatan angka pendaftaran sekolah. Pada tingkat sekolah dasar peningkatan tercatat sebesar 2.3%, sementara di tingkat sekolah menengah pertama sebesar 4.4%. Nah, apakah ini kabar bagus?
PKH : Angka kemiskinan dan realita kemiskinan
Nah jika melihat angka di atas, ya tentu saja Pemerintah dapat mengatakan itu adalah bukti hasil perjuangan dalam upaya pengentasan kemiskinan hingga kini.
Namun jika saya atau kalian kebetulan adalah pihak yang berseberangan dalam konteks-politik, tentu angka-angka itu akan bernilai null alias omong kosong!
Karena realita dan angka-angka di lapangan tentu bisa berbeda, dikarenakan pembenaran terhadap penafsiran kemiskinan yang masing-masing rasakan dan diklaim benar. Bisa saja kita katakan kemiskinan di negara kita tak sekecil itu, bahkan bla..bla.bla
Coba ingat, kala itu ketika terjadi kebijakan kenaikan bahan bakar Pertamax, respons warga yang ber-demonstrasi menyeruak dan mengatasnamakan kesejahtaeraan mereka terusik, padahal kebijakan itu sebenarnya diperuntukan kalangan kaya bukan golongan miskin.
Sehingga tak salah dan lumrah jika istilah kemiskinan akan selalu menjadi masalah jika selalu dikaitkan dengan konteks-konteks politik. Dan pencapaian yang sudah berdarah-darah diraih tentu akan terlihat buram oleh banyaknya perbedaan atas tafsiran politis tentang kemiskinan.
Nah, namun jika mau dikatakan program PKH ini kurang sempurna, ya iya pasti ada kekurangan secara teknis, dan hal tersebut pasti terus disempurnakan pemangku kebijakan.
Utamanya dalam usaha meng-anggarkan biaya penyalurannya se-proporsional mungkin. Jika berbicara soal hambatan dalam pelaksanaannya, setidaknya ada beberapa masalah yang saya catat dalam penerapan kebijakan PKH ini.
Pertama soal klasik sih, soal pendataan, terutama basis data terpadu, yang belum konsisten diterapkan dalam penyaluran PKH. Kedua, hal mengenai data kreteria penerima PKH yang tidak diketahui keberadaanya, bahkan pesertanya sudah meninggal.
Ketiga, Mekanisme Pemutakiran Mandiri (MPM) yang dibentuk pemerintah untuk menyempurnakan pendataan peserta Bansos, dengan maksud peserta yang merasa miskin bisa melakukan pendaftaraan langsung di daerahnya untuk diverifikasi. Namun keberadaannya dirasa masih belum jelas pelaksanaannya.
Ke-empat, sistem ranking penetapan data peserta Bansos/PKH, yang dianggap belum proporsional di tiap daerah.
Dan terakhir, yang tak kalah ramainya, adalah penyelewengan dalam penyaluran Keluarga Penerima Manfaat (KPM), termasuk pungutan liar yang diberlakukan oleh pendamping KPM.
Pertanyaannya, apakah semua kebijakan pemerintah bisa sempurna? Apalagi kebijakan Bansos mengalirkan dana yang besar dan mengundang banyak human-error baik sengaja atauapun tidak.
Ada Gula Awas Pasti Ada Semut!
Di tahun 2019 ini terjadi kenaikan anggaran khusus PKH sebesar Rp 38 Triliun, dari sebelumnya yang hanya Rp 19 Triliun.
Nah, dari tren kenaikan anggaran Bansos dari tahun ke tahun ini kita pula lantas berfikir, apakah kenaikan ini meningkat secara kualitas atau kuantitas? Jika meningkatnya secara kuantitas, artinya jumlah pesertan KPM bisa-bisa bertambah dan di-cover oleh kucuran dana yang meningkat tadi. Artinya jumlah angka kemiskinan tidak lantas berkurang.
Jika kenaikan itu anggaran itu berkualitas, tentu dana yang dikucurkan pada KPM akan mengalami kenaikan, dalam hal ini tentu pesertanya bisa berkurang dan minimal tetap. Dan ini bisa menjadi bukti angka kemiskinan itu tergerus.
Atau bisa saja kenaikan anggaran Bansos ini tadi berkaitan langsung dengan hajatan politik di tahun politik yang lumrah terjadi di masa lalu juga? Tuhkan, bacaan konteks-politik bisa saja ikut meramaikan tafsiran itu. –Tapi kita skip aja!–
Kabarnya, pemberian bantuan PKH tahun 2019 menggunakan konsep non-flat. Artinya selain bantuan yang bersifat tetap sebesar Rp 550 ribu pertahun, KPM akan menerima bantuan yang berbeda-beda tergantung kondisionalitasnya. Ada lima kondisi yang dimaksud, yakni keluarga dengan ibu hamil, keluarga dengan balita, keluarga dengan anak berpendidikan jenjang SD dan/atau SMP maupun SMU. Berarti secara kualitas kenaikan anggaran bisa dirasakan.
Oleh karena itu, Pertama, bila memang terjadi peningkatan bersamaan secara kualitas dan kuantitas atas anggaran yang meningkat tadi, tentu saja harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat terutama seleksi dan verifikasi KPM yang masuk golongan keluarga-sangat-miskin, yang benar-benar menjadi target kemiskinan.
Kedua, sistem pembayaran non-tunai yang terus harus digencarkan, agar masyarakat bisa beralih pada tehnology baru untuk bertransaksi secara digital dan terencana.
Meskipun pembatasan item-item konsumsi yang dibelanjakan juga harus dirasa perlu dan dijelaskan secara detail kepada KPM nanti. Agar, kebutuhan pokok yang di-plan segera terpenuhi oleh setiap KPM dan dikonsumsi.
Dan yang ketiga, program PKH ini juga harus dilengkapi penegakan hukum yang ketat terhadap oknum yang menghambat sistem alur pelaksanaan PKH. Utamanya memotong alur sependek mungkin terhadap proses administrasi PKH dan pencairan dana-nya.
Kelima, tentu PKH harus benar-benar memberikan target waktu kepada KPM untuk bisa mandiri dengan kucuran dana tersebut.
Pendampingan KPM bisa juga dilakukan sambil memberikan trainingkewirausahaan, agar target kemadirian KPM dapat terwujud dan selanjutnya dana PKH dapat digunakan bergantian dengan KPM lainnya yang berada dalam zona antrean keluarga miskin.
Karena jujur saja, porsi KPM untuk ikut dalam PKH ini sangat kecil hanya sekitar 10-15 juta KPM yang dihimpun dari survey Kemenkes dan BPS yang dikategorikan sebagai keluarga sangat miskin.
Sehingga manfaat PKH bisa diterima oleh seluruh masyarakat miskin yang terdata dalam survey BPS dan Kemenkes. Saya kira Kemensos sudah cukup cerdas soal itu –apalah saya sih!–
Menyatukan konteks-konteks
Saya yakin sekali hambatan yang terjadi dalam PKH akan terselesaikan seiring berjalannya waktu, dan pergantian kepemimpinan siapa saja dan kapan saja. Karena tujuan awal dari program pengentasan kemiskinan adalah kewajiban pemerintah, meski dalam pergantian pemerintahan bisa berbeda nama programnya saja, di kemudian hari.
Nah untuk itu perlu kesadaran masyarakat, terutama dalam diri kita masing-masing, dalam membaca definisi kemiskinan untuk bersama memeranginya. Tentu saja dengan cara mendukung semua kebijakan populis Pemerintah.
Utamanya, dengan menyamakan tafsiran konteks-konteks-agama yang lebih menyejukkan dalam menafsirkan arti kemiskinan tadi. Dimana tentu setiap agama mengajarkan kita untuk saling melengkapi perbedaan. Karena perbedaan diciptakan ya hanya untuk mengisi.
Ada hitam putih, surga neraka, baik jahat, dan akhirnya kaya miskin yang menjadikannya pasangan, saling melengkapinya.
Dengan satu bacaan tadi tentu saja kita bisa menganalogikannya dengan peribahasa tangan diatas lebih baik dari tangan di bawah, yang bisa memberikan makna untuk tidak pernah mau mengambil hak orang yang membutuhkan. Dalam hal ini, subsidi yang harusnya dinikmati oleh orang miskin.
Dengan begitu, hal itu cukup untuk menyempurnakan PKH memerangi angka kemiskinan yang tidak akan pernah punah hingga kapanpun dan dimanapun kita hidup.
Kemiskinan akan benar-benar punah, jika masing-masing kita berani untuk jujur apakah kita berada di golongan mampu/kaya atau tidak/miskin! Dengan begitu tentu saja, angka kemiskinan sebagai target peperangan terhadap kemiskinan akan benar-benar terjadi da teruji.
Poinnya, permasalahan kemiskinan akan selalu menyeruak. Kecuali suatu hari nanti kita sadar jika kebijakan pengentasan kemiskinan apapun yang menggunakan anggaran subsidi APBN/APBD, sepantasnya diterima atau diberikan kepada yang benar-benar miskin.