Pilihan terbaik bagi calon sarjana atau sarjana yang baru lulus bisa saja berlainan. Segera bekerja atau Magang?Terlebih keinginan, kebelet ingin nikah-lah, yang semuanya itu bermuara ingin membahagiakan orang tua –katanya-

Bagi calon sarjana atau seorang sarjana bisa saja beranggapan selembar kertas Ijasah sarjana teramat penting untuk –harapannya-bisa bersaing mencari kerja? Ya maklum saja namanya juga baru.

Namun ya sempitnya lapangan pekerjaan saat ini, bisa menjadi hal yang membuat semuanya menjadi susah. Faktor pengalaman dan keahlian sang sarjana atau calon sarjana, bisa saja menjadi batu sandungan, meski gelar sarjana sudah melekat erat belakang nama kita.

Magang, salah satu penawar rindu bagi calon sarjana atau sang sarjana baru untuk bisa membuat kesempatan sedikit menganga, dalam mencari pekerjaan.

Di sisi lainnya, Magang menjadi etalase cantik yang memajang para pekerja baru yang enerjik bagi perusahaan untuk  direkrut dengan harga murah bahkan gratisan? –tega-

Terus bagaimana anak magang harus bersikap? Dan siapa sih yang paling butuh dari proses Magang ini ya? Peserta Magang atau Persuahaan? Bagai Telur dan ayam kan jadinya?

Magang dan Presepsinya?

Dalam sudut pandang umum sih bisa saja kita berpendapat program magang Perusahaan adalah kesempatan emas yang diberikan untuk mahasisiwa akhir, atau sarjana baru agar bisa belajar –lagi- tentang praktik bekerja di lapangan sesuai kompetensi, sesuai sistem yang dibuat oleh Perusahaan sendiri.

Dan sebaliknya Perusahaan juga bisa mendapatkan jua peluang untuk bisa melihat, dan akhirnya mau memperkerjakan mereka, calon tenaga kerja berkualitas di kemudian hari nanti.

Nah seharusnya, di dalam program magang, si anak magang diharapkan dapat mengembangakan potensi dan skill sesuai dengan kompetensinya kan?

Namun jika kita lihat yang terjadi, saat ini, untuk program magang dalam posisi tertentu –tenaga admin misalnya- Perusaahaan malah bisa saja merekrut calon anak magang yang berlatarbelakang apa saja –asal sarjana- yang mau bekerja sebagai prasyarat.

Ada anggapan sih, jika di dalam dunia kerja tidak memerlukan latarbelakang pendidikan, ketika proses magang ya artinya proses belajar aja lagi, lama-lama juga bakal terlatih kok dan akhirnya siap pakai dalam dunia kerja.

Hasilnya, banyak saja sarjana pertanian yang magang menjadi tenaga marketing di Bank dan akhirnya menjadi tenaga marketing Bank beneran, atau Sarjana Pendidikan yang malah menjadi wartawan. Menteri saja kadang beda latarbelakang kok!

Hal unlogis ini bisa segera menjadi logis, ketika kita menatap dan mendapati  di dunia luar, jika industri memang tidak selalu konsisten merekrut tenaga kerjanya, sesuai dengan latar belakang pekerjaan kan?

Poinnya peserta magang ya manusia juga, gaji dan ilmu sepertinya jodo –upss—dan dalam hal ini seakan sudah menjai pilhan yang sulit buat sang anak magang. Pilih mana ya? Tapi sekali lagi bolehkah mengharapkan gaji, bosque?

Uang atau Ilmu?

Dalam undang-undang no 13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan sebenarnya sudah gamblang menceritakan jika Perusahaan diminta memberikan uang saku dan transportasi pada anak magang.

Namun ya praktiknya masih ada saja yang tidak mengindahkannya sih!

Ya soal kompensasi ini memang agak seksi sih dibahas dimana pada faktanya peserta magang untuk keperluan akademis saja belum termasuk ke dalam difinisi magang UU ketenagakerjaan.

Sehingga hal tadi membuat daya tawar anak magang calon sarjana bisa saja lemah.

Namun satu hal yang kita harus pahami menurut saya adalah tujuan utama dari magang, kompensasi pada dasarnya bukan hanya uang atau gaji.

Tapi yang paling penting ilmu kan? Dan juga kesempatan membuat jaringan atau koneksi lebih luas lagi di dunia kerja secara marathon.

Jika memang mendapat tawaran magang di depan mata mengapa sih harus mikir, ada berjuta orang yang juga berebut kursi magang.

Pertanyaannya kemudian bisa saja, adalah biaya hidup untuk itu, bagaimana  bagi saya sang sarjana yang jauh dari pelosok desa dan bukan berasal dari lingkaran lingkungan industri.

Halaman:
1 2

Tag