wadahkata.ID- Meningkatnya jumlah pekerja tidak penuh waktu di Indonesia, berkontribusi pada melambatnya pertumbuhan ekonomi dan melemahnya daya beli masyaraka di Indoneisa. Kondisi ini disebut sebagai indikasi menyempitnya ketersediaan lapangan pekerjaan yang layak. 

Hal itu disampaikan Guru Besar FEB Unpad Arief Anshory Yusuf di program Cuap Cuap Cuan CNBC Indonesia, yang dikutip Senin (14/7/2025).

Dia menjelaskan bahwa meskipun seseorang bekerja, pekerjaan yang tidak layak (jam kerja sedikit dan upah rendah) tidak akan mampu meningkatkan daya beli dan konsumsi secara optimal.

“Jadi bisa saja dia sebenarnya bekerja, cuma karena pekerjaannya tidak layak, ya tidak mampu juga, daya belinya berkurang, dan itu terjadi,” ucap Arief  yang juga Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN).

Fenomena ini menunjukkan masalah struktural di pasar kerja Indonesia, di mana lapangan pekerjaan yang ada tidak cukup memberikan penghasilan yang layak bagi sebagian besar penduduk.

Berikut, fakta dan Data Kunci Pekerja di Indonesia

Berdasarkan BPS, menyebut jika pekerja dibagi menjadi pekerja penuh (minimal 35 jam/minggu) dan pekerja tidak penuh (1-35 jam/minggu).

Dalam program program Cuap Cuap Cuan CNBC,  terungkap Per Februari 2025, 49,29 juta warga Indonesia (33,81% dari total pekerja) bekerja kurang dari 35 jam per minggu.

Jumlah pekerja tidak penuh menunjukkan tren kenaikan, sementara pekerja penuh cenderung mengalami penurunan. Porsi pekerja penuh per Februari 2025 (66,19%) lebih rendah dari Agustus 2024 (68,07%).

Porsi pekerja di sektor formal menurun, sedangkan di sektor informal terus meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pemulihan pasca-COVID tidak mengembalikan pekerja ke sektor formal seperti semula.

Arief Anshory menegaskan meskipun angka pengangguran mungkin tidak selalu tinggi, kualitas pekerjaan menjadi masalah krusial di Indonesia, dengan jutaan orang bekerja kurang dari jam kerja penuh dan berpenghasilan tidak optimal, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi dan daya beli.