Polusi Udara Jakarta
Gugatan Citizen Lawsuit Pencemaran Udara Jakarta (CLS Udara) akhirnya menang di tingkat banding. Putusan itu tertuang di 17 Oktober 2022, menguatkan putusan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor 374/PDT.H-LH/2019/PN.JAK.PUS tertanggal 16 September 2021.
Artinya, Presiden RI saat ini dan pejabat terkait harus bertanggung jawab atas buruknya kualitas udara Jakarta. Meski selama ini Pemerintah RI juga sudah berupaya mengurai selimut polusi udara di Jakarta.
Lihat saja, hadirnya sistem transportasi Jakarta yang tampil lebih modern, dan ramah lingkungan, seperti LRT, MRT dan juga trans Jakarta. Hingga langkah, yang paling populis sekalipun, yakni guyuran subsidi bahan bahan bakar minyak (BBM), jenis Pertalite.
Namun, berdasarkan laporan World Air Quality (IQAir) 2022, pada saat itu kota Jakarta masih memiliki tingkat konsntrasi PM 2.5 harian mencapai 30.4 µgram/m3, dan 36.2 µgram/m3.
Artinya, usaha Pemerintah meredam polusi udara Jakarta selama ini, hanya mampu memperbaiki kualitas udara dari tahun 2021 sebesar 7 % saja khusus di Jakarta.
Dan hal yang menjadi catatan pentingnya adalah, jika tingkat konsentrasi Jakarta tadi, masih berada 6 hingga 7 kali lipat lebih tinggi, dari standart yang ditetapkan Organiasi Kesehatan Dunia (WHO).
Fakta ini selayaknya mengajak kita, sebagai masyarakat untuk mampu bersuara keras, agar akselerasi perbaikan udara Jakarta, dan kota-kota besar lainnya mampu berstandar WHO, lewat kebijakan stratgis Pemerintah terkini, yang lebih tegas.
Muaranya, tentu saja ya demi menjaga hak dasar kesehatan masyarakat agar lebih baik lagi, bukan?
Dimana catatan Kementrian Kesehatan pernah menyebutkan, jika 4 faktor yang menimbulkan penyakit paru di Indoneisa, salah-satunya berasal dari Polusi udara, yang menyumbang potensi 15-30%.
Nah, apakah kita mau menjadi korban selanjutnya, akibat paparan polusi udara yang kian massif merajalela?
Sinergitas sistem transportasi publik dan sektor energi dipertanyakan!
Sekian purnama berlalu, paska putusan pengadilan yang memenangkan Gugatan Citizen Lawsuit Pencemaran Udara Jakarta (CLS Udara). Namun, isu polusi udara Jakarta masih menggelinding, dan menjadi bancakan publik, mengkritisi kebijakan Pemerintah atas hal itu.
Ya, termasuk kritik pedas, bagaimana buruknya efektivitas dan efisiensi sinergitasnya sektor energi dengan sistem transportasi publik masyarakat yang sedang berjalan di Jakarta.
Kita bisa saja merasakannya sendiri, bukan?
Salah-satunya, jika Pemerintah masih terkesan memanja sektor energi, lewat pemaafaatan energi fosil yang tidak ramah bagi lingkungan itu berlanjut.
Terlebih langkah itu mudah tercium sebagai langkah populis Pemerintah semata?
Bayangkan, selain produk buangan kendaraan, hadirnya pembangkit energi yang mengeluarkan emisi karbon mengurung Jakarta, sudah disinyalir menjadi produser selimut polusi Jakarta,
Dinas LHK Jakarta menyebut, polutan SO2 berasal dari sektor industri, sedangkan polutan NOx, CO, PM10 dan PM 2,5 berasal dari sektor Transportasi Jakarta.
Oleh sebab itu, sinergitas sistem transportasi publik dengan sektor energi pantas menjadi tema sengit, dalam diskusi Ruang Publik di Radio KBR Jakarta, yang diinisasi Yayasan Lembaga Konsumen Indoneisa (YLKI), bersama stakeholder terkait, pada Kamis (16/11) lalu.
Sisir biang polusi kota Jakarta sekarang juga!
Tulus Abadi, ketua harian YLKI, tak pernah berhenti menyoroti masih rendahnya kesadaran masyarakat Jakarta, untuk menggunakan transportasi massal yang sudah tersedia. Dan masih saja memilih kendaraan pribadi, beraktivitas harian di Jakarta.
Diakuinya, sistem transportasi modern di Jakarta –memang- belum konsisten menjamu kenyamanan penggunanya, seperti pelayanan LRT yang masihmenuai kendala operasionalnya.
Meskipun begitu, Tulus juga berpandangan, jika massifnya polusi udara tak lepas dari hadirnya pembangkit energi yang mengepung Jakarta jua.
Dia mencatat setidaknya ada 17 PLTU yang ada di daerah lain sekitar Jakarta, termasuk yang digunakaan untuk kebutuhan industri.
Oleh sebab itu, lanjutnya, PLN sebagai otorita yang menjalankan sektor energi harus memberikan klarifikasi, mengenai kelayakan pembangkit energi yang diproduksi menggunakan bahan bakar fosil batu bara selama ini.
Sembari pihaknya –YLKI– terus mendorong hadirnya BBM ramah lingkungan yang akan digunakan masyarakat, seperti Pertamax Green, dengan campuran kandungan nabati, mengurangi emisi kendaraan, sekaligus menjamin keterjangkauan harganya.
Jakarta masih baik-baik saja!
Sigit Reliantoro, Direktur Jendral Pengendalian Pencemaran dan Kerusakqn Lingkungan (KLHK) yang juga hadir dalam diskusi itupun mengakui Polusi Jakarta dan sekitarnya pernah dalam level membahayakan.
Namun tercatat dalam waktu terakhir, berangsur normal, yang mudah dipantau oleh 56 stasiun monitoring kualitas udara, KLHK.
Dia menjelaskan jika, hadirnya polusi udara Jakarta sangat dipengaruhi Atmosfer, siklus musiman, dimana di bulan April sampai September adalah musim kemarau, yang ditandai dengan angin timur yang kondisinya kering, membawa debu dan partikel yang lebih banyak.
Dirinya tak menampik jika faktor input, juga sangat mempengaruhi hadirnya polusi udara Jakarta.
Dia mencatat hadirnya polusi udara Jakarta dominan disebabkan oleh emisi transportasi sebesar 44 %, serta 31 % adalah emisi industri termasuk pembangkit energi.
Namun, dia menjelaskan –lagi- selepas Oktober hingga Maret akan hadir angin barat, yang mengandung uap air, dan menyebabkan hujan, dan akan turut menghadirkan kualitas udara lebih baik, dari musim kemarau.
Hapus saja Bahan Bakar ber-RON rendah!
Ahmad Safrudin, Ketua Komite Penghapusan Bahan Bakar Bertimbal (KPBB), yang hadir dalam diskusi itupun langsung memberikan pendapat tegas. Jika sudah saatnya Pemerintah mengambil langkah tegas menghapus Pertalite, dan beralih ke BBM Pertamax saja.
Hal itu bisa saja dilakukan, untuk menekan jumlah emisi kendaraan transportasi masyarakat. Karena semua kendaraan terbaru kini, sudah menerapkan teknologi Euro 4, yang mentuntut bahan bakar ber-RON tinggi, setara Pertamax. Terlebih hal itu juga sudah ada regulasi yang jelas mengaturnya.
Dia, mengatakan hal itu, sebagai langkah urgen menjadikan solusi permasalahan di sektor energi hulu, yang nantinya akan mudahkan bersinergi dengan sistem transportasi publik.
Meski diakuinya juga, hal itu, pasti akan menimbulkan pro dan kontra dari sisi ekonomi.
Hal itu beralasan karena negara-negara tetangga, sudah mampu memproduksi dan memanfaatkan BBM RON tinggi setara pertamax, untuk aktivitas industri dan transportasi mereka.
“BBM Euro 4 di Malaysia sekitar Rp 4300 Per liter……, di Indonesia BBM Euro 1 Rp 10 ribu…,” Paparnya.
Oleh sebab itu, hal pertama yang harus dilakukan yakni, mempercepat langkah restruktrusasi sektor energi, agar Indoneisa mampu juga memproduksi BBM ramah lingkungan yang terjangkau seperti negera-negara tetangga itu.
PLN, terus aktif mengontrol luaran emisi pembangkit listrik berbasis batubara
Narasumber lain, Irwan Edi Syahputra Lubis, selaku General Manager PLN Indoensia Power Suralaya PGU, memastikan pihaknya selalu mengontrol emisi standar yang dihasilkan dari pembangkit energi batubara milik PLN bagi kebutuhan masyarakat.
Dia mengakui, terdapat 7 lokasi pembnagkit PLTU yang berada dekat dengan Jakarta, dan sudah menjalani uji kelayakan beroperasi, terutama berhasil meramu campuran bahan bakar batubara yang tepat, sebagai bahan bakar pembangkit energi.
Dan operasional di luar itu, adalah pembangkit energi untuk industri, yang bukan tanggung jawabnya. Dan kedepan, lanjutnya, PLN juga terus mngurangi pembangkit energi berbahan fosil, dan akan berangsur beralih pada operasional pembangkit listrik ramah lingkungan.
Yuk akhiri malakama energi fossil, dengan menciptakan sinergitas diri, yang lebih baik?
Nah, mencermati diskusi tadi, rasanya sih bukan Jakarta saja yang berkelindan dengan polusi udara, bukan?
Masyarakat di Pulau Kalimantan, yang berselimut hutan rimba juga kenyang merasakan kerugian polusi udara, tatkala musim kemarau tiba, oleh Karhutla yang terbakar secara sengaja ataupun tidak.
Namun, seiring berjalannya waktu, masalah Jakarta yang berkelindan dengan polusi udara akibat emisi energi fosiil yang masif itu, lambat-laun pasti juga akan bergeser di kota-kota besar di Indonesia lainnya, secara merata.Percayakah?
Sebut saja, kota Balikpapan dan Samarinda, yang bersiap menjadi kota penyangga IKN Nusantara kelak! Dengan ketiadaan sistem transportasi modern seperti Jakarta, jelas akan menjadikan sebuah petaka dalam waktu dekat akibat arus urbanisasi, bukan?
Hal itu sudah terlihat, dengan kemacetan di jalan perkotaan oleh kendaraan pribadi pada jam kerja, persis Jakarta.
Namun, Eforia status ekonomi masyarakat –daerahku– di Balikpapan dan Samarinda memang sangat bergairah dalam memenuhi gaya hidupnya, salah-satunya –harus– memiliki kendaraan pribadi dalam beraktivitas.
Memang tiada yang salah dengan pilihan tersebut, bukan? Terlebih, belum juga tersedianya akses transportasi yang layak nan ramah lingkungan yang tersaji di banyak daerah.
Namun, masalahnya akan menjadi tidak adil, ketika mereka –masyarakat daerah– yang sudah memiliki kendaraan pribadi demgan speks terbaru, hanya berkeluh-kesah untuk mendapatkan BBM non subsidi, yang ber-RON tinggi.
Di satu sisi, kebijakan populis Pemerintah yang masih memanja harga BBM murah. dengan menyediakan BBM yang tidak ramah lingkungan jenis Pertalite.
Nah, jika disimak, di sinilah letak sinergitas itu diuji, yang nampaknya selama ini menjadi buah simalakama, dalam hal pemnafaatan energi fosil. Namun, mampukah masyarakat mengakhirinya sendiri?
“Sinergitas adalah proses dimana interaksi dari dua atau lebih agen atau kekuatan akan menghasilkan pengaruh gabungan yang lebih besar dibandingkan jumlah dari pengaruh mereka secara individual”
Dari, pengertian itu, pasti akan mudah memetikkan sebuah aksi sinergitas bersama yang nyata, dalam meredam polusi udara itu, di sirkle kecil kita saja dahulu, bukan?
Langkah sinergitas yang kita bisa lakukan di sirkel kita?
- Ikut bertangung jawab menjaga lingkungan tetap asri, dengan aksi ramah lingkungan dalam beraktivitas, salah-satunya menggunakan bahan bakar ramah lingkungan untuk kendaraan pribadi.
- Mengkampanyekan isu-isu lingkungan di sirkel terkecil, sebagai edukasi nilai keberlanjutan itu penting.
- Mau dan mampu menggunakan fasilitas transportasi publik, jika sudah layak tersedia.
Nah, jika merenungkan mengenai isi diskusi kembali, kita juga mudah berhitung, jika 3 tindakan kecil barusan akan mudah jua bernilai nihil, bukan? Jika kita –kembali lagi— menemukan ketiadaan sinergitas antar sektor energi dan juga sektor transportasi berjalan dengan baik.
Menganalogikannya jadi sangat mudah! Bagaimana kita akan mau dan mampu, menggunakan kendaraan ramah lingkungan, sebut saja kendaraan listrik, jika energi listrik yang digunakan –masih– dihasilkan dari pembangkit energi fosil yang tidak ramah lingkungan itu?
Nah, hal itu akan menjadikan sebuah pekerjaan rumah dalam jangka waktu terdekat, bagaimana sektor energi sebagai sektor hulu, mampu menjadi problem solving bagi sistem transportasi, terlebih kebutuhan harian masyarakat.
Sampai di sini, pasti kita akan bersepakat, jika ‘sinergitas’ dalam konteks luas itu penting, bukan? Terutama menjadikan peredam, atas pameo ‘malakama pemanfaatan energi fosil’ yang hari ini masih menjadi beban Pemerintah untuk diselesaikan.
Tunjukkan sinergitas kita via Pilpres mendatang!
Jalur hukum Kasasi ataupun Peninjauan Kembali (PK) –memang– masih menganga untuk ditempuh Pemerintah untuk menganulir kemenangan Citizen Lawsuit Pencemaran Udara Jakarta, oleh Masyarakat sipil. bukan?
Namun apakah Pemerintah tega menempuh cara itu, dibandingkan langsung menempuh langkah strategis seperti negara tetangga tengah lakukan?
Terlebih –lagi– Indonesia sudah berkomitmen untuk mampu zero net emision pada 2050 mendatang.
Dan faktanya, kita sudah masuk ke tahap transisi energi, yang muaranya, bauran energi nanti akan fix didominasi oleh energi terbarukan (ET). Meski hal itu terwujud di tahun 2050 mendatang.
Namun apakah kita mau dan mampu, menunggu waktu selama itu, hingga selimut polusi udara berhasil mencelakakan kesehatan kita?
Oleh sebab itu, memang Perlu langkah tegas dari Pemerintah yang bisa dikerjakan secara massif di semua kota besar di Indonesia, sekarang juga!
Apa saja langkah Pemerintah yang seharusnya dilakukan di kota-kota besar, meredam polusi udara?
- Peremajaan kendaraan masyarakat, dan melakukan uji emisi kendaraan umum dan pribadi secara rutin
- Pembatasan usia kendaraan yang beroperasi di jalan.
- Peningkatan kenyamanan dan fasilitas pejalan kaki, serta Pesepeda.
- Peralihan moda transportasi ramah lingkungan.
- Pengendalian sektor industri dengan ketat terkait emisi yang dihasilkan.
- Penghijauan pada sarana dan prasarana umum.
- Akselerasi pemanfaatan Energi Terbarukan (ET)
Nah, ketujuh langkah tadi tentu bepotensi mampu menjadikan langkah –minimal– yang pasti realtif mudah dIkerjakan Pemerintah, bukan?
Namun, tentu kita kita masih tetap menunggu langkah tegas Pemerintah untuk memperbaiki sektor energi hulu dengan serius, untuk menyediakan BBM yang ramah lingkungan, dengan cara apapun?
Salah-satunya, kebijakan mencabut subsidi BBM ber-RON rendah sepeti Pertalite, dan mengalihkan penyediaan BBM ke ke RON tinggi. Dan lantas. Pemerintah jua harus mampu memanfaatkan besaran biaya pencabutan subsidi BBM itu dalam mengakselerasi transisi energi zero net emmision sebelum 2050.
Tapi, apakah Pemerintah berani melakukanya, mengakhiri ‘malakama penggunaan energi fossil’ di Indonesia yang mencemar udara kita?
Nah, celah sinergitas diri kita, untuk mewujudkan langkah berani tadi tentu akan sangat terbuka, bukan?
Salah-satunya adalah memanfaatkan momentum Pemilihan Umum (Pemilu) 5 tahunan, baik pemilihan eksekutif dan legeslatif yang menjadikan daya tawar kita sebagai masyarakat, wujudkan sinergitas sektor energi, dan sistem transportasi dalam upaya meredam polusi udara, semakin nyata!
Karena dari ‘kekuasaan’ akan mudah menjadikan sebuah jawaban lugas menjawab permasalahan polusi udara terkini, dan bukan nanti-nanti.
Oleh sebab itu, diskusi ini, tentu akan menjadikan sebuah langkah awal nan nyata kita, dalam memberikan sinergitas diri, lewat upaya seleksi para pemimpin kita, yang benar-benar berwawasan ‘berkeberlanjutan’ kedepan.
Itu artinya, menjadikan isu-isu lingkungan, dan keberlanjutan, sebagai sebuah pertimbangan penting menentukan pemimpin masa depan, adalah sebuah sinergitas kolektif masyarakat yang amat penting jua, bukan?
Nah, diharapkan dari paraf pemimpin baru bangsa yang terpilih, benar-benar mampu mewujudkan sebuah sinergitas besar, yang menjadikan sektor energi terbarukan, mampu melayani semua aktivitas masyarakat lewat lingkungan yang sehat dan udara yang bersih.
Yuk bersiap-siap bersinergi, demi hadirnya sinergitas sektor energi dan sistem transportasi berhasil berjalan baik di Jakarta, lewat momentum Pilpres mendatang!