Jujurlah, Tiada Kusta Diantara Kita?

Edukasi soal ini, ini tentu harus kita resapi terlebih dahulu dalam kehidupan harian kita, guna mampu bersikap aktif dan reaktif melakukan pengobatan ketika merasakan gejalanya.

Kusta bisa diobati kok!

Di Indonesia pengobatan penderita kusta dilakukan dengan MDT (multi drug theraphy). Atau dengan konsumsi kombinasi obat antibiotik selama enam hingga 2 tahun lamanya. Semua tergantung dari tingkat jenis kusta yang diderita.

Antibiotik yang digunakan biasanya rifamicin, dapsone, clofazimine, minocycline dan juga ofloxacin.

Operasi dilakukan sebagai tindakan lanjutan, dengan tujuan menormalkan fungsi saraf yang rusak, memperbaiki bentuk bagian tubuh penderita yang cacat dan juga mengembalikan fungsi anggota tubuhnya.

Nah, sama seperti Covid-19, Kusta jua bisa menyebabkan penyakit komplikasi jika tidak segera diobati lho! penderita bisa merasakan mati rasa pada area kusta, Glaukoma, kebutaan, gagal ginjal, disfungsi ereksi, kemandulan pria, kerusakan bentuk wajah, kelemahan otot sampai cacat permanen pada jemari tangan, alis dan hidung.

Dengan kondisi itu ya tentulah membuat kondisi mental penderita kusta akan tertekan dan terkadang cenderung memiliki hasrat untuk mengakhiri hidupnya dengan percobaan bunuh diri saja.

Mampukah Pandemi, mengajarkan tidak ada kusta diantara kita?

Bagi yang pernah terkonfirmasi covid-19, saya yakin pernah merasakan pengalaman yang tidak mengenakan ya?

Bertanya-tanya soal bagaimana kelanjutan nyawa ini kemudian-lah? Terus juga nasib orang yang kontak erat dengan kita, yang –mungkin- tertular-lah? Sedih?

Bayangan kelam itu, pernah merasuk dalam pikiran saya –hanya- bebarapa saat, ketika memandangi selembar kertas keterangan postif Covid-19. Surat itu hasil dari uji covid-19 via Genose di Bandara YIA, Kamis (24/4) lalu, ketika saya hendak terbang ke Bandung.

Hingga pada akhirnya, saya bernyali -tidak malu lagi- untuk menguji tes antigen Covid-19 kedua kalinya. Dan ya akhirnya mampu memastikan hasilnya yang –malah- negative, dan membuat saya bisa terbang lagi. Rasanya ya antara percaya tidak percaya saja.

Hingga, tanpa disadari, memang status penyakit covid-19 yang menular itu, akan menjadikan beban moral atas potensi penularannya kepada lingkaran kita? Meski ya hal ini akan –memang- masih terus menjadi misteri Tuhan, untuk memastikan musabab penyebaran awalnya.

Istilah bias selanjutnya yang sedang dan sudah hadir di masyarakat yakni keyakinan semu jika semua penyakit menular adalah sebuah ujian, atau sebuah kutukan Tuhan. Ini memang hanya soal presepsi saja sih.

Namun, kini, kewaspadaan kita di masa Pandemi ini pastilah terus bergelora, terus teringat jua pada potensi berbagai penyakit menular lainnya yang sama berbahaya, ya selain Covid-19 ini. Yakni Kusta yang kita singgung di atas.

Memang secara kasat mata Kusta mudah dilihat tidak seperti Covid-19. Oleh karena itu sebenarnya sangat mudah pula bagi penderita kusta, untuk mendeteksi gejala kusta dini dan lekas mengobatinya via rumah sakit.

Tapi mental malu, pastilah menjadi penghalang penderita Kusta, dalam mengupayakan pengobatannya tadi. Sama halnya dengan aib terinfeksi covid-19 kini kan? Kita merasa ragu dan tidak mau tahu saja untuk memeriksakannya meski kita sudah merasakan gejalanya. Padahal siapa tahu, kita sudah tertular?

Lanjut baca? Klik nomor halaman!

Tiga Artikel Wadai paling Populer, Yuk Klik-in!

error: Content is protected !!