Nanar tetiba menerima surat cintah. Tapi kok sepertinya surat itu dari kekasihnya yang dahulu, yang telah menghilang bak ditelan bumi. Emmm.. terus bagaimana ya Nanar menyikapinya?
Nanar kok sumringah bener siang ini, ya ? Aihh.. Bibirnya mengembang. Malam ini, dia ingin melelapkan diri saja secepatnya. Dia sepertinya takut dan malu bertemu rembulan. Terlebih bertemu bintang kejora yang mungkin jatuh lagi dari langit malam ini.
Nanar seperti ingin menghianati sang kejora saja. Langkah Nanar terlihat bergairah menuju rumahnya. Ada sesuatu ditangannya. Sebuah amplop merah muda yang baru saja diterimanya.
Setengah mati dia mencoba menyembunyikannya dari mata sekitar. Hari itu masih pukul 17.00 Wita, sore semakin tenggelam saja namun mata lelahnya tetap saja bergairah.
Baru saja tiba di kamar, cepat-cepat dia membuka kembali amplop, yang sudah dibuka dan dibacanya tadi.
Dibukanya pelan-pelan amplop merah muda yang tersobek tadi. Sepucuk surat yang terlipat rapi terselip di dalamnya.
Wanginya semerbak mengisi kamar itu. Jantung Nanar gemetar membukanya. Lipatan demi lipatan dibuka. Dia berharap kata-kata yang tumpah di dalam surat itu akan berubah.
” Aku masih sayang kamu. Kau tetaplah di hatiku,” cieehh, isi kalimat terakhir surat itu.
Di ujung surat itu, juga tersusun nama Satrio. Dia adalah mantan kekasih Nanar. Tak tau mengapa, Nanar menerima surat itu tiba-tiba, ya berdekatan dengan hari kelahirannya minggu ini.
Padahal mereka berdua lama tak bersua, setelah memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka.
Nanar menjadi terdiam, khayalnya menjadi kosong.
“Kenapa, baru sekarang, kamu datang si,” pintanya lirih
Dilipatnya kembali kertas itu seperti semula. Dan didekapnya erat di dadanya. Jasad Nanar lantas rebah di pembaringan. Jiwanya kembali ke-lima tahun silam.
Ketika dirinya memutuskan Satrio sepihak.
Sesal-pun menggunung. Pintu hati Satrio terluka, tiada maaf bagi Nanar. Hampir empat tahun, Nanar menunggu Satrio, semenjak mengakhiri hubungan mereka.
Klik Page angka, untuk halaman selanjutnya!